Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
MADARIJUS
SALIKIN
(PENDAKIAN MENUJU ALLAH)
Penjabaran Kongkret
"lyyakaNa 'budu wa lyyaka Nasta'in "
(Tiga Jilid Lengkap)
Penerjemah: Kathur
Suhardi
A
PUSTAKA AL-KAUTSAR
Penerbit Buku Islam Utama
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim
Madarijus-Salikin (Jalan Menuju Allah)/ Ibnu Qayyim Al-Jauziyah;
penerjemah: Kathur Suhardi; — Cet. 1 — Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 1998. 481 + xxivhal.: 24 cm.
Judul Asli: Madarijus-Sahkin Baina Manazili lyyaka Na'budu wa lyyaka
Nasta'in ISBN 979-592-1 10-X
1. Tafsir Al-Qur'an I. Judul. H. Suhardi, Kathur
Judul asli: Madarijus-Salikin Manazih lyyaka Na'budu wa lyyaka Nasta'in
Pengarang: Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
Muhaqqiq: Muhammad Hamid Al-Faqqy
Penerbit: Darul I'ikr. Beirut, 1408 H.
Edisi Indonesia:
MADARIJUS-SALIKIN (PENDAKIAN MENUJU ALLAH)
Penjabaran Kongkrit "lyyaka Na'budu Wa lyyaka Nasta'in"
Penerjemah: Kathur Suhardi
Editor: Team Al-Kautsar
Setting: Robiul Huda
Desain sampul: Dea Advertising
Cetakan: Pertama, Desember 1998
Cetakan: Kedua. Agustus 1999
Penerbit: PUSTAKA AL-KAUTSAR
Jin. Kebon Nanas Utara 1 1/12
Jakarta Timur 13340
Telp. (021)8199992, Fax. 8517706.
AnggotalKAPlDKI
Dilarang memperbanyak isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
All Rights Reserved
Uak terjemahan dilindungi undang-undang
Ebook Ini diambil dari http:kampuiigsuiiiiah.co.iir
PENGANTAR PENERBIT
Segala puji bagi Allah. Salam dan shalawat semoga tetap tercurah
bagi junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam beser-ta
segenap shahabat dan keluarganya serta para pengikutnya yang setia
hingga hari kiamat nanti.
Kesuksesan seseorang di zaman sekarang ini banyak di nilai dari
keberadaan dan status sosial ekonomi seseorang. Orang yang disebut
sukses seringkali hanya diukur dengan perhitungan-perhitungan materi
dan kekayaan duniawi, padahal bisa jadi orang tersebut di mata AUah
dinilai sebagai orang yang gagal dan terkecoh dengan godaan duniawi.
Padahal tugas utama manusia selaku seorang hamba adalah ber-
ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah dengan sekuat tenaga dan
segala daya. Kita terus dituntut untuk memperkaya rohani kita dan bu-kan
jasmani kita agar sukses menjadi hamba yang dekat dan dicintai Allah.
Ibnu Qayyim Al- Jauziyah sebagai ulama yang sangat utama dalam karyanya
ini mengajak kita untuk bersusah payah mendaki jalan yang berat dan
penuh lika-liku dan cobaan agar kita bisa sampai pada tujuan-nya secara
selamat tanpa terkecoh dan tertipu oleh tipuan dan jebakan di sepanjang
jalan.
Dalam edisi aslinya, kitab Madarijus-SaliUn diterbitkan dalam 3 jihd
tebal. Selain karena ketebalannya yang amat memberatkan kami, buku
tersebut juga sangat berat dan suUt dipahami dan ditelaah, maka dengan
berat hati kami terpaksa memberanikan diri untuk meringkasnya sehing-ga
bisa seperti ini. Toh di Timur Tengah, kitab-kitab klasik yang tebal banyak
dibuat ringkasannya untuk memudahkan ditangkap pesannya. Se-hingga
upaya kami bisa dibilang sah-sah saja, sepanjang kami berhati-hati dan
tetap berupaya semaksimal mungkin untuk mendekati seperti aslinya.
Sebab tanpa upaya ini rasanya sulit buku ini dapat kami tampil-kan secara
utuh. Untuk itu kami mohon maaf atas kelancangan ini. Teri-ma kasih.
Penerbit
KATA PENGANTAR PENERJEMAH
Masya Allah dan segala puji Allah. Itulah komentar kami yang
pertama terhadap karya-karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah secara umum,
yang karena taufik Allah kami berkesempatan menerjemahkan beberapa
buah di antaranya, dan secara khusus terhadap kitab ini. Dengan
kelempangan istiqamahnya, dengan kedalaman bashirah-nya, dengan
kekuatan akidah-nya, dengan ketajaman mata penanya, dengan
kelembutan bahasanya, dan dengan segala potensi yang dikaruniakan Allah
kepadanya, dia mam-pu menjabarkan berbagai masalah aqidiyah dan
sulukiyah seperti aliran air yang tiada henti-hentinya, dengan suara
gemerisik, enak didengar dan indah untuk dinikmati. Tapi bagi ahli bid'ah,
ahli thariqah, sufi dan orang-orang yang menyimpang, ketajaman penanya
ini menorehkan luka dan membuat hati mereka berdarah. Apalagi kitab ini
dimaksudkan untuk meluruskan berbagai pengertian dan kandungan yang
ditulis di dalam Kitab ManazHus-Sa'irin karangan Abu Isma'il Al-Harawy,
sebuah kitab yang membahas masalah thariqah ilallah (perjalanan kepada
Allah), yang kemudian diklaim sebagai dunia sufi, atau di negeri kita ini
lebih terkenal dengan istilah toriqot.
Pada hakikatnya tidak ada yang perlu diributkan dengan kata
thariqah itu sendiri. Apalagi jika thariqah itu ilallah. Karena memang setiap
orang Muslim haras senantiasa berada dalam perjalanan kepada Allah,
dan bahkan setiap manusia, Mukmin maupun kafir, akan kembali kepada
Allah (ilaihin-nusyur). Setiap orang Muslim haras membekali diri dalam
menempuh perjalanannya, haras melewati manzilah-manzilah yang
memang seharasnya untuk dilewati. Tapi kata thariqah ini menjadi istilah
tersendiri ketika ia dinisbatkan kepada golongan tertentu, dengan
pakaian, amaliah, perilaku, sikap, doktrin, norma-norma dan segala ciri-
cirinya tertentu, disertai dengan penggunaan istilah-istilah tertentu pula,
yang sama sekali tidak ada dalam kehidupan orang-orang salafush-sha-lih,
apalagi dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Tentu saja banyak ajaran yang
haras di-lakoni setiap hari dan bahkan setiap saat oleh siapa pun yang
bergabung ke golongan ahli thariqah. Terlebih lagi jika dia sudah
mencapai tataran tertentu dari berbagai tataran yang mereka ciptakan.
Yang buntut-buntutnya mengarah kepada ghuluw. Memang di satu sisi
mereka bisa melepaskan diri dari pesona keduniaan, dan hal ini juga
merapakan keadaan atau kedudukan yang harus dipelihara oleh orang
yang sedang mengadakan perjalanan kepada Allah. Tapi sekiranya syetan
menyusup ke dalam hatinya, lalu berbisik, "Engkau adalah calon penghu-ni
surga", maka apa kira-kirayang terjadi dengan dirinya? Dia pun menja-min
seseorang yang menjalani kehidupan seperti dirinya atau masuk ke dalam
golongan ahli thariqah, akan menjadi penghuni surga. Atau mungkin ada
pula anggapan mereka tentang ilmu ladunny, ilmu atau ma'rifat yang
langsung disusupkan Allah ke dalam hati. Sehingga dengan ilmu ladunny ini
mereka tidak perlu mempelajari ilmu-iknu zhahir, seperti ilmu syariat, wajib,
sunat, makruh, haram, halal dan ilmu apa pun yang harus dibaca,
dihapalkan dan ditekuni dengan amal.
Hal-hal seperti inilah yang ingin dilempangkan Ibnu Qayyim Al-
Jauziyah dan juga lain-lainnya, termasuk penjelasan tentang berbagai
istilah yang digunakan ahli thariqah, khususnya dalam kitab Manazilus-
Sa'irin. Boleh jadi Ibnu Qayyim mempunyai pandangan tersendiri yang
bemilai positif terhadap kitab tersebut, sehingga dia menyempatkan diri
untuk mengupasnya kembali, menjelaskan dan meluruskan isinya yang
dirasa kurang pas.
Tentang kitab (Madarijus-Salikin) ini sendiri seakan mempunyai dua
visi. Satu visi berupa tulisan Ibnu Qayyim dan visi lain merupakan kritik
atau pun pembenahan terhadap kandungan kitab ManazUus-Sa'irin. Pada
permulaannya Ibnu Qayyim mengupas Al-Fatihah, yang merupakan in-duk
Al-Qur'an dan yang mengintisarikan semua kandungan di dalam Al-Qur'an.
Kemudianyang lebih inti lagi adalah pembahasan tentang makna iyyaka
na'budu wa iyyaka nasta'in, yang menjadi ruh dari keseluruhan kitab ini.
Pada sisi inilah ketaajuban layak disampaikan kepada Ibnu Qayyim oleh
siapa pun yang membacanya. Begitu dalam pengkajiannya dan begitu luas
pembahasannya.
Pembahasan berikutnya berkisar pada masalah perjalanan kepada
Allah dengan manzilah, etape, tempat persinggahan, keadaan dan kedu-
dukan-kedudukannya. Di antaranya yang dikupas dalam masalah ini,
bahwa manusia memiliki dua substansi, sesuai dengan hikmah penciptaan
Allah: Substansi rohani dan substansi jasadi. Yang pertama merupakan
alam atas/tinggi dengan segala kelembutannya, dan yang kedua meru-
pakan alam bawah/rendah dengan segala kekasatannya. Sementara pada
diri manusia juga ada dua kekuatan yang saUng menolak. Yang satu mena-
riknya ke atas dan yang satu menariknya ke bawah. Sasaran yang dikehen-
daki dalam perjalanan ini adalah berpaling dari alam bawah dan
membebaskan diri dari daya tariknya, untuk berpindah ke alam atas, agar
terjadi penyatuan hati dengan AUah.
Sewaktu kami meringkas salah satu karangan Ibnul Jauzy, yaitu ki-tab
Talbis Mis, ada di antara ikhwan yang merasa keberatan. Karena dengan begitu
ada semacam penyerobotan terhadap hak pengarang, yang tentu-nya telah
mengerahkan segala kekuatan dan potensinya untuk penuUsan kitabnya,
dan juga hak pembaca yang ingin menikmati secara utuh dan lengkap
kandungan kitab tersebut. Sebenarnya bukan kami sendiri yang
meringkasnya. Tapi memang sudah ada seseorang yang meringkasnya
dalam Bahasa Arab, lalu kami menerjemahkan (Mukhtashar)-nya, meski-pun
bagian depan kitab itu kami ringkas sendiri, karena saat itu kami belum
mendapatkan kitab Mukhtashar-nya. Namun ada pula hikmah yang bisa
kami rasakan dari pengalaman ini. Ternyata ringkasan yang kami buat dari
kitab aslinya terasa lebih pas, meskipun mungkin hal ini juga tidak lepas
dari unsur subyektivitas kami. Tapi kami kira siapa pun memang tidak
akan mampu melepaskan diri dari subyektivitas ini. Kami benar-benar bisa
memahami koreksi dan perasaan ikhwan tersebut, apalagi jika dia
termasuk orang yang doyan membaca kitab.
Maka sebelumnya kami menyampaikan beribu maaf kepada pem-
baca, terutama kepada semacam ikhwan yang kami isyaratkan di atas,
sekiranya kami memberanikan diri untuk meringkas kitab Madarijus-
Salikin ini, yang mestinya cukup banyak yang tidak kami terjemahkan dari
buku aslinya yang berjumlah tiga jilid. Tapi kalau boleh dibilang alasan
(bukan apologis), ada pula sisi keuntungannya bagi pembaca yang ingin
mengetahui kandungan kitab ini. Sebab jika tiga jiM kitab ini diterje-mahkan
apa adanya, tentu akan menjadi tiga buku terjemahan yang semuanya jauh
lebih tebal dari buku aslinya. Bagaimana pun juga kami tetap berusaha
untuk mengambil yang pokok-pokok dari kitab aslinya, sehingga tidak
akan mengecewakan pembaca, dan semoga hal ini bukan merupakan
kezhaliman terhadap pengarang.
Semoga AUah mengampuni dosa kita semua.
Kathur Suhardi
DAFTAR ISI
FENGAOTARFENERBrr
FENGANTARPENERJEMAH
DAFTARBI
FENGANTARFENULB
BUKUPERTAMA
FENJABARANMENYELURUH lYYABCANABUDU WA lYYAKA NASTATN
Al-Fatihah Yang Mencakup Berbagai Tuntutan
Ash-Shirathul-Mustaqim
Cakupan Surat Al-Fatihah terhadap Macam-macam Tauhid
Hakikat Asma' Allah
Tingkatan-tingkatan Hidayah Khusus dan Umum
Kemujaraban Al-Fatihah Yang Mengandung Kesembuhan bagi Hati
dan kesembuhan bagi Badan
Al-Fatihah Mencakup Bantahan terhadap Semua Golongan
Yang Batil, Bid'ah dan Sesat
Cakupan lyyaka Na'budu wa lyyaka Nasta'in terhadap Makna-makna
Al-Qur'an, Ibadah dan Isti'anah
Pembagian Manusia Berdasarkan Kandungan lyyaka Na'budu wa
lyyaka Nasta'in
Bangunan lyyaka Na'budu dan Keharusan Ibadah Hingga Akhir
Hayat
Tingkatan-tingkatan lyyaka Na'budu dan Penopang Ubudiyah
Persinggahan lyyaka Na'budu di dalam Hati Saat Mengadakan
Perjalanan kepada AUah
Muhasabah dan Pilar-pilamya
Taubat Sebagai Persinggahan Pertama dan Terakhir
Kendala-kendala Taubat Orang-orang Yang Bertaubat
Pemik-pernik Hukum Yang Berkaitan dengan Taubat
Antara Orang Taat Yang Tidak Pernah Durhaka dan Orang Durhaka
Yang Melakukan Taubatan Nashuhan
Taubat Menurut Al-Qur'an dan Kaitan Taubat dengan Istighfar
Dosa Besar dan Dosa Kecil
Jenis-jenis Dosa Yang Harus Dimintakan Ampunan (Taubat).
Taubat Orang Yang Tidak Mampu Memenuhi Hak atau Melaksa-
nakan Kewajiban Yang Dilanggar
Taubat Yang Tertolak
Kesaksian atas Tindakan Hamba.
Inabah kepada Allah
Tadzakkur dan Tafakkur
I'tisham
Firar dan Riyadhah
Sima'
Kazan
Khauf
Isyfaq
Khusyu'
BUKU KEDUA
TEMPAT-TEMPATPERSINGGAHANIYYAKANA'BUDU WAIYYAKA
NASTATN
Ikhbat
Zuhud
Wara'
Tabattul
Raja'
Ri'ayah
Muraqabah
Mengagungkan Apa-apa Yang Dihormati di Sisi Allah
Ikhlas
Tahdzib dan Tashfiyah
Istiqamah
Tawakkal
Tafqidh :
Keyakinan terhadap Allah
Sabar
Ridha
Syukur
Malu-
Shidq :
Itsar
Tawadhu'
Futuwwah
Muru'ah
Azam
Iradah
Adab
Yaqin
Dzikir
Fakir
Kaya
Ihsan
Ilmu
Hikmah
Firasat
Pengagungan
Sakinah
Thuma'ninah
Himmah
BUKU KETIGA
TEMPAT-TEMPATPERSINGGAHAN lYYAKANABUDUWAIYYAKA
NASTATN
Mahabbah
Cemburu
Rindu
Keresahan
Haus
Al-Barqu
Memperhatikan
Waktu
Kejernihan
Kegembiraan
Rahasia
Napas
Ghurbah
Tamakkun
Mukasyafah
Musyahadah
Hayat
Al-Basthu
As-Sukru
Ittishal
Ma'rifat
Al-Fana'
Al-Baqa'
Wujud
Al-Jam'u
Tauhid
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, Yang Pengasih lagi Penyayang, Yang Me-
nguasai hari pembalasan, dan akibat yang baik itu bagi orang-orang yang
bertakwa serta tidak ada siksaan kecuali bagi orang-orang yang zhalim.
Shalawat, salam dan barakah semoga dilimpahkan kepada penutup para
rasul dan pemimpin orang-orang yang mendapat petunjuk, yang telah
dipilih Allah lalu diutus sebagai rahmat bagi semesta alam dan sebaik-
baik panutan bagi orang-orang yang bertakwa, dialah hamba dan rasul
Allah Muhammad, begitu pula atas seluruh kerabat dan pengikutnya. Se-
moga Allah menjadikan kita termasuk golongannya yang beruntung di
dunia dan di akhirat, wa ba'd.
Buku Madarijus-SaliUn ini dikarang Syaikhul-Islam yang rajin men-
jelaskan kebenaran dan menyebarkan agama, yang menciduk dari Sun-nah
pemimpin para rasul, yang meletakkan penanya yang tajam d i tengkuk para
ahli bid'ah, yang membabat leher para ahli khurafat dengan pedang
kebenarannya, yang aktif menjelaskan Al-Qur'an, yang menguasai sastra
bahasa, yang mendapat ilham petunjuk dan pemahaman dari Allah, yang
menjabarkan pengertian, dialah Abu Abdullah Muhammad bin Abu Bakar
bin Ayyub bin Sa'd Az-Zar'y Ad-Dimasqy, yang lebih terkenal dengan
sebutan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Semoga Allah mengampuni dosa kita
dan dosanya, menempatkannya di surga-Nya dan mengumpulkan kita
dengannya pada kebenaran iman.
Di dalam buku ini Ibnu Qayyim ingin meluruskan kandungan buku
Manazilus-Sa'irin karangan Abu Isma'il (Abdullah bin Muhammad bin Ali
Al-Harawy Al-Hambaly, seorang sufi yang meninggal pada tahun 481
Hijriyah), agar dapat menjadi menara yang menuntun kepada petunjuk
dan jalan AUah yang lurus. Pasalnya, Abu Isma'il menyusun buku
Manazilus-Sa'irin berdasarkan jalan para guru sufi yang terlalu melebih-
lebih-kan pemahaman tentang jalan kepada Allah dan yang biasanya
berpegang teguh kepada simbol-simbol sufisme, prinsip dan tujuan-
tujuan-nya. Semenjak golongan pertama yang mencuatkan sufisme hingga
yang terakhir pada masa sekarang telah sepakat tentang kemanunggalan
mere-ka. Sehingga mereka tidak bisa beralih dan tidak bisa melepaskan
diri dari pemahaman ini selagi mereka tetap meniti cikal bakal jalan yang
diciptakan orang-orang sufi yang pertama dari India dan Persi, bahkan
semenjak jauh sebelum itu yang sudah berkembang di suatu kaum, yang
kemudian Allah mengutus Nabi Nuh kepada mereka dan juga kaum-kaum
sesudahnya. Kemanunggalan inilah yang juga ditetapkan secara gamblang
oleh Abu Yazid Al-Busthamy, Al-Husain Al-Hallaj, Ibnu Araby Al-Hatimy,
Ibnu Sab'in, Ibnu Al-Faridh, Abdul-Karim Al-Jaily dan konco-konconya
yang berpegang kepada paham wihdatul-wujud.
Mereka mengatakan dan meyakini bahwa sesembahan mereka ada-lah
inti atom yang pertama dan materi yang keluar dari inti atom itu, yang
berupa wujud apa pun di langit dan di bumi, yang diam dan yang
bergerak, yang berakal dan benda mati. Ini semua merupakan hakikat
Ilahiyah yang tidak bisa diketahui orang awam, sebab mereka tidak meniti
jalan filsafat seperti yang dilakukan orang-orang sufi. Menurut mereka,
yang termasuk orang awam ini adalah para nabi dan rasul.
Hanya ada satu tujuan yang hendak diraih orang-orang sufi itu, dan
untuk meraihnya mereka berbuat apa pun yang bisa diperbuat, meski harus
mengorbankan sesuatu yang paling beharga, yaitu agar mereka men-jadi
pemimpin yang suci dan pemuka-pemuka yang dielu-elukan di mata
manusia. Karena menurut mereka, hanya merekalah orang-orang yang
memiliki ma'rifat, hanya merekalah yang beriknu, hanya merekalah yang
mengetahui hakikat Ilahiyah ini dan orang awam tidak mengetahuinya,
hanya merekalah yang bisa menggambarkan hakikat Ilahiyah ini. Yang
demikian ini dapat terlihat jelas dalam pengakuan Ibnu Araby, yang sekali-
gus membenarkan pengakuan rekan dan saudaranya, Fir'aun, "Aku adalah
sesembahan kalian yang tertinggi, dan aku tidak mengenal sesembahan
selain aku bagi kalian". Apa yang tersembunyi di balik semua ini? Mereka
ingin menjadikan orang awam sebagai hamba bagi mereka, selain menjadi
hamba bagi Allah. Karena itu siang malam mereka banting tulang
menghimpun faktor-faktor yang bisa mendongkrak pamor dan kehebatan
mereka di mata orang awam, agar mereka menjadi sesembahan di samping
Allah.
Sementara Allah telah mengutus para nabi di setiap umat, dengan
menyatakan, "Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut." Para nabi ini bertu-gas
membebaskan manusia dari para thaghut dan menyelamatkan mereka dari
perbudakan yang terus-menerus menghantui mereka dan merupakan
sumber penderitaan, yang selama itu mereka telah mengganti nik-mat
Allah dengan kekufuran, sehingga keseluruhan hidup mereka menjadi
apes dan mereka hanya menjadi penolong bagi para thaghut untuk
melawan Allah. Sementara Dzat yang menciptakan mereka semua dari
tanah, kemudian menciptakan mereka dari setetes air mani, yang mem-
berikan pendengaran, hati dan penglihatan, mengharapkan agar mereka
mau bersyukur, mengetahui i?fl&& mereka dengan asma' dan sifat-sifat-Nya
serta pengaruh ciptaan-Nya yang ada pada diri mereka dan yang ada di
seluruh alam ini, agar mereka memurnikan ibadah kepada-Nya dan
mengerjakan amal-amal shalih yang mendatangkan kebahagiaan. Dengan
begitu Allah akan menganugerahkan kehidupan yang baik bagi mereka.
mengangkat derajat mereka dengan karunia dan taufik-Nya. Akhir-nya
mereka tertuntun kepada perkataan dan perbuatan yang baik serta akhlak
yang mulia, tidak tersesat, tidak menderita di dalam kehidupan ini dan
kehidupan sesudahnya.
Jika ada rasul yang diutus, para thaghut yang congkak dan merasa
dirinya hebat itu menyatakan permusuhan, dengan mengandalkan kekuat-
an yang dibisikkan syetan dan jin, serta memanfaatkan ketidak-berdayaan
orang-orang awam yang tahunya hanya ikut-ikutan semata dan orang-
orang yang tunduk layaknya mayat yang ada di tangan orang yang
memandikannya. Karena di mata orang-orang awam, para thaghut inilah
yang bisa diandalkan dan menjadi gantungan hati, yang di dalam dirinya
ada bagian dari Dzat Allah dan cahaya yang memancar dari-Nya. Mahasuci
Allah dari apa yang mereka katakan.
Peperangan antara para rasul dan pengikutnya yang merupakan
wali-waU Allah dengan musuh-musuh mereka dari kalangan thaghut yang
congkak dan takabur senantiasa berkobar, hingga Allah menyempumakan
cahaya-Nya dan melimpahkan pertolongan kepada para waU-Nya, sehing-ga
hanya kalimat-Nyalah yang paling tinggi sedangkan kalimat orang-orang
kafir menjadi hina. Kemudian sunnatuUah berlaku pada diri rasul-Nya yang
juga merupakan manusia biasa. Beliau meninggal dunia dan meninggalkan
manusia berada di atas jalan yang lurus dan jelas rambu-rambunya. Beliau
menegakkan ayat-ayat-Nya bagi mereka, sehingga tak seorang pun di antara
mereka mempunyai hujjah untuk melawan AUah. Hari terus berlalu, hingga
musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya yang beru-pa syetan, jin dan manusia
berani mendongakkan kepala sedikit demi sedikit, sambil mencari-cari
peluang emas, dengan menyesuaikan kekuatan dan kelemahan manusia
untuk berpegang kepada petunjuk Allah dan taU-Nya yang kokoh.
Sementara syetan-syetan saUng membisikkan perka-taan-perkataan yang
manis sebagai tipu daya, lalu banyak manusia yang mengikuti IbUs, dan
hanya sebagian kecil dari orang-orang Mukmin yang tidak mengikutinya.
Begitulah yang senantiasa terjadi dan begitulah ketetapan Allah. Di
sana ada dua jalan yang saling bertentangan:
1. Jalan AUah yang lurus. Di barisan terdepannya ada para rasul
Allah yang menyatakan kebenaran dan menyerukan kepada manusia, "Ing-
karilah para thaghut, sembahlah AUah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya, ikutilah apa yang diturunkan kepada kaUan dari Rabb kalian
danjanganlah ikuti para peno long selain-Nya."
2. Jalan syetan dan golongannya. Mereka berseru kepada manusia,
"Jadikanlah Kitab Allah dan ayat-ayat-Nya sebagai bahan olok-olok dan
mainan. Barakah ayat-ayat Allah ialah dengan menjadikannya sebagai jimat,
sementara ia hanya layak dibaca untuk orang yang meninggal. Maka dari
itu waspadailah orang yang mengajak kalian untuk memahami dan
menelaahnya, mengambil hukum dan akidah darinya. Waspadalah jika
kalian berasaha untuk memahami sabda Rasul-Nya, karena yang demikian itu
akan menghalangi kalian untuk memahami asal mula penciptaan."
Islam adalah agama semua rasul yang merupakan satu millah. Islam
adalah agama fitrah semenjak zaman Nuh hingga hari ini.
"Dan, barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidak
akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi. " (Ali Imran: 85).
Islam tegak berdasarkan ubudiyah yang sempurna dengan segala
kekhususannya yang berlaku bagi semua orang, yang setiap unsur ibadah itu
haras dikerjakan secara tulus dan benar, penuh rasa cinta, ketundukan,
kepasrahan dan ketaatan kepada Allah semata, yang tidak beranak dan
tidak diperanakkan, yang tiada seorang pun yang setara dengan-Nya, yang
tiada sesuatu pun yang serapa dengan-Nya, dan Dia Maha Mende-ngar lagi
Maha Mengetahui, yang tidak bodoh, tidak lalai dan tidak lupa. Engkau
tidak boleh mengatakan terhadap Allah atau tentang Allah kecuali seperti
yang difirmankan-Nya atau yang disabdakan Rasul-Nya. Engkau haras
mensyukuri nikmat AUah yang dilimpahkan ke semua lapisan kehidupan
manusia yang dapat mendengar, melihat dan berakal, dengan disertai
keyakinan bahwa Allah tidak menciptakan langit dan bumi serta seisinya
secara sia-sia. Dia menciptakan segala sesuatu dengan kebenar-an yang
pasti, yang tidak berubah karena nafsu, kebodohan dan kebatilan manusia.
Allah adalah Rabb kita, Dialah yang benar, janji-Nya benar, firman-Nya
benar, kitab-Nya benar dan qadha'-Nya juga benar.
Sementara agama Jahiliyah adalah agama milik syetan yang berupa
jin dan manusia, agama musuh-musuh AUah dan Rasul-Nya serta musuh diri
sendiri. Agama ini laku di pasaran selagi kegelapan Jahiliyah dan taqUd
semakin pekat, selagi di mana-mana tercium bau busuk karena penyim-
pangan pengarah asma' Allah dan sifat-sifat-Nya pada diri manusia dan
alam semesta, penyimpangan dari sunnatuUah, kitab-Nya dan petunjuk
para rasul-Nya. Pada saat itu manusia menyimpang dari jalan petunjuk
dan kebenaran, mereka tidak bisa melihat hakikat yang ada di langit dan di
bumi serta pada diri mereka. Mereka berpencar-pencar mengikuti syetan di
lembah kehancuran dan melalaikan ayat-ayat Allah. Padahal ayat-ayat ini
bisa mengingatkan mereka tentang asma' dan sifat-sifat Allah.
"Dan, barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya
baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya
pada hari kiamat dalam keadaan buta. la berkata, Ya Rabbi, mengapa
Engkau menghimpun aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya
adalah seorang yang melihat?' Allah befirman, Demikianlah, telah
datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan
begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan'. Dan, demikianlah kami
membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya kepada ayat-
ayat Rabbnya. Dan, sesungguhnya adzab di akhirat itu lebih berat dan
lebih kekal. "(Thaha: 124-127).
Siapa yang menajamkan pandangan dan pikiran terhadap ayat-ayat
(tanda-tanda kekuasaan) Allah di alam, mengamati dan menelaah secara
tulus dan benar sentuhan-sentuhan ilmu dan petunjuk yang dilimpah-kan
Allah, yang terdapat pada pendengaran, penglihatan dan akalnya,
memahami kisah-kisah Al-Qur'an, ibrah, peringatan dan ancamannya,
tentu dia akan mengetahui bahwa semua gambaran penderitaan yang
dialami manusia pada zaman sekarang dan juga kapan pun, beraiula dari
taqM buta yang dibisikkan musuh para rasul, baik oleh syetan yang berapa
jin maupun syetan yang berapa manusia. Syetan-syetan ini menciptakan
perkataan yang manis-manis sebagai tipu daya, menciptakan bid'ah-bid'ah
yang dijadikan syariat, menciptakan khurafat yang dianggap baik, sehingga
lama-kelamaan hati manusia menjadi keras, jiwa menjadi kelam dan dada
menjadi gelap. Benar nasihat yang disampaikan RasuluUah Shallallahu
Alaihi wa Sallam, andaikan mereka mau memahaminya,
"Aku meninggalkan kalian berada di atas hujjah yang putih, malam-
nya seperti siang, yang tidak akan menyimpang darinya kecuali orang
yang rusak. "
Beliau juga bersabda,
"Kutinggalkan sesuatu di tengah kalian, yang andaikan kalian berpe-
gang teguh kepadanya, maka sekali-kali kalian tidak akan tersesat, yaitu
Kitab Allah dan Sunnahku. "
Kehidupan manusia pada zaman sekarang, di Barat maupun di Ti-
mur, sangat perlu dikembalikan ke hujjah yang putih ini, berpegang teguh
kepada tali Allah yang kokoh, berapa petunjuk firman- Nya yang tetap utuh
seperti sediakala saat Jibril menurunkannya kepada hamba pilihan dan
penutup para rasul, yang datang dari sisi Allah, agar beliau memberi-kan
petunjuk kepada jalan yang paling lurus. Demi AUah, jika mereka mau
kembali kepada AUah dan berkenan memahami Kitab-Nya secara tulus
dan mau menasihati diri sendiri, tentu mereka akan tertuntun kepada jalan
Allah yang Maha Terpuji.
Semoga AUah merahmati Syaikhul-Islam Ibnu Qayyim dan juga
mengampuni dosa-dosa kita, karena dia telah banyak berusaha, dengan
mencuci Manazilus-Sa'irin, sehingga buku ini bersih dari noda-noda sufi
JahUiyah. Tapi di beberapa tempat dia mengaku tak mampu membersih-
kannya. Dia juga mengaku tetap mencintai Abu Isma'il Al-Harawy, karena
dia seorang pengikut madzhab Hambali, di samping karena dia juga
menyusun buku yang mencela ta'wil tentang asma' dan sifat. Tapi kebe-
naran tetap yang paling dia cintai daripada kecintaannya kepada Al-
Harawy atau kepada ratusan orang yang seperti Al-Harawy. Bahkan kami
tahu persis bahwa kebenaran lebih dia cintai daripada kecintaan kepada
dirinya sendiri. Dia rela mengorbankan dirinya sehina mungkin dalam
rangka meninggikan kalimat Allah.
Yang pasti, buku Madarijus-Salikin ini termasuk buku terbaik karya
Ibnu Qayyim. Tentunya engkau juga sudah tahu kiprah Ibnu Qayyim dalam
mengarahkan jiwa dan mendidik akhlak dengan adab orang-orang yang
bertakwa. Hal ini sudah cukup membuktikan bahwa Ibnu Qayyim
termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk dan benar, yang jiwanya
menjadi baik karena takwa kepada AUah, yang pandangannya menjadi
bersinar karena petunjuk Allah, sehingga hal ini sudah cukup menjadi
jaminan baginya bahwa insya Allah dia akan berada di surga bersama
orang-orang yang bertakwa dan benar.
Buku Madarijus-Salikin tidak jauh dari gambaran ini. Cetakan per-
tama buku ini pada tahun 1334 Hijriyah sudah lama habis. Sementara
masih banyak orang yang memerlukannya, terutama orang-orang pada
masa sekarang yang lebih sering dihembus badai materiaUsme, yang pikir-an
manusia lebih banyak memikirkan materi, yang keberhasilan mereka lebih
banyak diukur dari kaca mata materi, sehingga bara permusuhan dan
kebencian semakin berkobar, kejalangan mewamai setiap masyarakat,
kehidupan terasa semakin berat, kesengsaraan ada di mana-mana, pe-
maksaan menjadi mode, ujian dan cobaan merajalela dan materi menjadi
sesuatu yang disanjung di dalam hati manusia.
Maka besar harapan kami untuk mencetak kembali buku ini, un-tuk
memenuhi kebutuhan manusia terhadap buku ini, sambil berharap agar
Allah memberikan manfaat lewat buku ini, menghimpun hasrat material
pada diri manusia untuk mensucikan ruh, menguatkan jiwa dan
mengarahkan akhlak. Sehingga di samping Allah telah melimpahkan
kekayaan material kepada bangsa Arab dan kaum Muslimin, Dia juga
memberikan kehidupan yang mulia, tehormat, baik dan aman dalam lin-
dungan Islam, seperti yang dialami orang-orang salaf yang shalih. Aga-ma
dan dunia telah dihimpun AUah bagi mereka, mengokohkan agama
mereka dan ridha terhadap mereka, sehingga Allah merubah ketakutan
mereka menjadi aman. Hanya satu sebabnya, mereka menyembah Allah
semata dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengannya.
Muhaqqiq
Muhammad Hamid Al-Faqqy
BUKU
PERTAMA
PENJABARAN MENYELURUH
lYYAKA NA'BUDU
WA lYYAKA NASTAW
Al-Fatihah Yang Mencakup Berbagai Tuntutan
Mengingat kesempumaan manusia itu hanya tercapai dengan ilmu
yang bermanfaat dan amal yang shalih seperti yang terkandung di dalam
surat Al-Ashr, maka Allah bersumpah bahwa setiap orang akan meragi,
kecuali siapa yang mampu menyempurnakan kekuatan ilmiahnya dengan
iman dan kekuatan amaliahnya dengan amal shalih serta
menyempurnakan kekuatan selainnya dengan nasihat kepada kebenaran
dan kesabaran menghadapinya. Yang paling penting adalah iman dan
amal, yang tidak bisa berkembang kecuali dengan sabar dan nasihat.
Selayaknya bagi manusia untuk meluangkan sedikit waktunya, agar dia
mendapatkan tuntutan yang bernilai tinggi dan membebaskan diri-nya dari
kerugian. Caranya ialah dengan memahami Al-Qur'an dan mengeluarkan
kandungannya. Karena hanya inilah yang bisa mencukupi ke-maslahatan
hamba di dunia dan di akhirat serta yang bisa menghantarkan mereka ke
jalan lurus.
Berkat pertolongan Allah, kami bisa menjabarkan makna Al-Fatihah,
menjelaskan berbagai macam isi yang terkandung di dalam surat ini,
berupa berbagai macam tuntutan, bantahan terhadap golongan-golongan yang
sesat dan ahli bid'ah, etape orang-orang yang berjalan kepada Allah,
kedudukan orang-orang yang berilmu, perbedaan antara sarana dan
tujuan. Tidak ada sesuatu pun yang bisa mewakili kedudukan surat
Al-Fatihah ini. Karena itu Allah tidak menurunkan di dalam Taurat,
Injil maupun Jabur, yang menyerupai Al-Fatihah.
Surat Al-Fatihah mencakup berbagai macam induk tuntutan yang
tinggi. la mencakup pengenalan terhadap sesembahan yang memiliki ti-ga
nama, yaitu Allah, Ar-Rabb dan Ar-Rahman. Tiga asma ini merupakan
rujukan Asma'ul-Husna dan sifat-sifat yang tinggi serta menjadi poros-
nya. Surat A-Fatihah menjelaskan ilahiyah, Rububiyah dan Rahmah. lyyaka
na'budu merupakan bangunan di atas Ilahiyah, lyyaka nasta'in di atas
Rububiyah, dan mengharapkan petunjuk kepada jalan yang lurus merupakan
sifat rahmat. Al-Hamdu mencakup tiga hal: Yang terpuji dalam Ilahiyah-
Nya, yang terpuji dalam Rububiyah-Nya dan yang terpuji dalam rahmat-
Nya.
Surat Al-Fatihah juga mencakup penetapan hari pembalasan, pem-
balasan amal hamba, yang baik dan yang buruk, keesaan Allah dalam
hukum, yang berlaku untuk semua makhluk, hikmah-Nya yang adil, yang
semua ini terkandung dalam maliki yaumiddin.
Surat Al-Fatihah juga mencakup penetapan nubuwah, yang bisa di-
lihat dari beberapa segi:
1. Keberadaan Allah sebagai Rabbul-'alamin. Dengan kata lain, tidak layak
bagi Allah untuk membiarkan hamba- hamba- Nya dalam keadaan sia-sia
dan telantar, tidak memperkenalkan apa yang bermanfaat bagi
kehidupan dunia dan akhirat mereka, serta apa yang mendatangkan
mudharat di dunia dan di akhirat.
2. Bisa disimpulkan dari asma-Nya, Allah, yang berarti disembah dan di-
pertuhankan. Hamba tidak mempunyai cara untuk bisa mengenal
sesembahannya kecuali lewat para rasul.
3. Bisa disimpulkan dari asma-Nya, Ar-Rahman. Rahmat Allah mence-
gah-Nya untuk menelantarkan hamba-Nya dan tidak memperkenalkan
kesempurnaan yang harus mereka cari. Dzat yang diberi asma Ar-
Rahman tentu memiliki tanggung jawab untuk mengutus para rasul dan
menurunkan kitab-kitab. Tanggung jawab ini lebih besar daripada
tanggung jawab untuk menurunkan hujan, menumbuhkan tanaman dan
mengeluarkan biji-bijian. Konsekuensi rahmat untuk menghidupkan hati
dan ruh, lebih besar daripada konsekuensi menghidupkan badan.
4. Bisa disimpulkan dari penyebutan yaumid-din, yaitu hari di mana Allah
akan memberikan pembalasan terhadap amal hamba. Dia memberikan
pahala kepada mereka atas kebaikan, dan menyiksa mereka atas
keburukan dan kedurhakaan. Tentu saja Allah tidak akan menyiksa
seseorang sebelum ditegakkan hujjah atas dirinya. Hujjah ini tegak
lewat para rasul dan kitab-kitab-Nya.
5. Bisa disimpulkan dari iyyaka na'budu. Beribadah kepada AUah tidak
boleh dilakukan kecuali dengan cara yang diridhai dan dicintai-Nya.
Beribadah kepada-Nya berarti bersyukur, mencintai dan takut kepada-
Nya, berdasarkan fitrah, sejalan dengan akal yang sehat. Cara beribadah
ini tidak bisa diketahui kecuali lewat para rasul dan berdasarkan
penjelasan mereka.
6. Bisa disimpulkan dari ihdinash-shirathal-mustaqim. Hidayah adalah
keterangan dan bukti, kemudian berupa taufik dan iUiam. Bukti dan
keterangan tidak diakui kecuali yang datang dari para rasul. Jika ada
bukti dan keterangan serta pengakuan, tentu akan ada hidayah dan
taufik, iman tumbuh di dalam hati, dicintai dan berpengaruh di
dalamnya. Hidayah dan taufik berdiri sendiri, yang tidak bisa diperoleh
kecuali dengan bukti dan keterangan. Keduanya mencakup pengakuan
kebe-naran yang belum kita ketahui, baik secara rinci maupun global.
Dari sini dapat diketahui keterpaksaan hamba untuk memanjatkan
peraio-honan ini jika dia dalam keadaan terdesak, serta menunjukkan
keba-tilan orang yang berkata, "Jika kita sudah mendapat petunjuk, lalu
untuk apa kita memohon hidayah?" Kebenaran yang belum kita ketahui
jauh lebih banyak dari yang sudah diketahui. Apa yang tidak ingin kita
kerjakan karena menganggapnya remeh atau malas, sebenarnya serupa
dengan apa yang kita inginkan atau bahkan lebih banyak. Se-mentara
kita membutuhkan hidayah yang sempurna. Siapa yang menganggap
hal-hal ini sudah sempurna di dalam dirinya, maka permohonan hidayah
ini merupakan permohonan yang bersifat peneguh-an dan
berkesinambungan. Memohon hidayah mencakup permohonan untuk
mendapatkan segala kebaikan dan keselamatan dari kejahatan.
7. Dengan cara mengetahui apa yang diminta, yaitu jalan yang lurus. Tapi
jalan itu tidak bisa disebut jalan kecuali jika mencakup lima hal: Lurus,
menghantarkan ke tujuan, dekat, cukup untuk dilalui dan merupakan satu-
satunya jalan yang menghantarkan ke tujuan. Satu cirinya yang lurus,
karena garis lurus merupakan jarak yang paling dekat di antara dua
titik, sehingga ada jaminan untuk menghantarkan ke tujuan.
8. Bisa disimpulkan dari orang-orang yang diberi nikmat dan perbedaan
mereka dari golongan yang mendapat murka dan golongan yang sesat.
Ditilik dari pengetahuan tentang kebenaran dan pengamalannya, maka
manusia bisa dibagi menjadi tiga golongan ini (golongan yang diberi
nikmat, yang mendapat murka dan yang sesat). Hamba ada yang me-
ngetahui kebenaran dan ada yang tidak mengetahuinya. Yang menge-
tahui kebenaran ada yang mengamalkan kewajibannya dan ada yang
menentangnya. Inilah macam-macam orang mukaUaf. Orang yang me-
ngetahui kebenaran dan mengamalkannya adalah orang yang mendapat
rahmat, dialah yang mensucikan dirinya dengan ilmu yang ber-manfaat
dan amal yang shalih, dan dialah yang beruntung. Orang yang
mengetahui kebenaran namun mengikuti hawa nafsunya, maka dia
adalah orang yang mendapat murka. Sedangkan orang yang tidak
mengetahui kebenaran adalah orang yang sesat. Orang yang mendapat
murka adalah orang yang tersesat dari hidayah amal. Orang yang
tersesat mendapat murka karena kesesatannya dari ilmu yang haras
diketahuinya dan amal yang haras dikerjakannya. Masing-masing di
antara keduanya sesat dan mendapat murka. Tapi orang yang tidak
beramal berdasarkan kebenaran setelah dia mengetahui kebenaran itu,
jauh lebih layak mendapat murka. Karena itu orang-orang Yahudi lebih
layak mendapat murka. Sedangkan orang yang tidak mengetahui
kebenaran lebih pas disebut orang yang sesat, dan inilah sifat yang
layak diberikan kepada orang-orang Nashara, sebagaimana firman-
Nya,
"Katakanlah, 'Hai Ahli Kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan
(melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agama kalian, dan
janganlah kalian mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat
dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah
menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat darijalan yang
lurus'. "(Al-Maidah: 77).
Penggal pertama tertuju kepada orang-orang Yahudi dan penggal
kedua tertuju kepada orang-orang Nashara. Di dalam riwayat At-Tirmidzy
dan Shahih Ibnu Hibban, dari hadits Ady bin Hatim, dia berkata, "Ra-
sulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam hersabda/'Orang-orang Yahudi
adalah orang-orang yang mendapat murka dan orang-orang Nashara adalah
orang-orang yang sesat. "Nikmsit dikaitkan secarajelas kepada Allah.
Sedangkan pelaku kemurkaan disamarkan. Hal ini bisa dilihat dari
beberapa pertimbangan:
1. Nikmat itu merupakan gambaran kebaikan dan karunia, sedangkan
kemurkaan berasal dari pintu pembalasan dan keadilan. Sementara
rahmat mengalahkan kemurkaan.Tentang pengkhususan nikmat yang
diberikan kepada orang-orang yang mengikuti jalan lurus, maka itu
adalah nikmat yang mutlak dan yang mendatangkan keberuntungan
yang abadi. Sedangkan nikmat itu secara tak terbatas diberikan kepa
da orang Mukmin dan juga orang kafir. Jadi setiap makhluk ada dalam
nikmat-Nya. Di sinilah letak rincian perselisihan tentang pertanyaan,
"Apakah AUah memberikan kepada orang kafir ataukah tidak?" Nik
mat yang tak terbatas hanya bagi orang yang beriman, dan ketidakter-
batasan nikmat itu bagi orang Mukmin dan juga bagi orang kafir. Inilah
makna firman-Nya,
"Dan, jika kalian menghitung nikmat Allah, tidaklah kalian dapat
menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu sangatzhalim dan sa-
ngat mengingkari (nikmat Allah). " (Ibrahim: 34).
2.. AUahlah satu-satunya yang memberikan nikmat, sebagaimana firman-
Nya,
S*!-' -•♦•-'o.o oA< 4'"''
AJJI ^j^ 5'<"tJ (jA A^ Laj
"Dan, apa saja nikmat ycmg ada pada kalian, maka dari Allahlah (da-
tangnya). " (An-Nahl: 53).
Sedangkan kemurkaan kepada musuh-musuh-Nya, maka bukan Allah
saja yang murka, tapi para malaikat, nabi, rasul dan para wali-Nya juga
murka kepada musuh-musuh Allah.
3. Ditiadakannya pelaku kemurkaan menunjukkan keremehan orang yang
mendapat murka dan kehinaan keadaannya. Hal ini berbeda dengan
disebutkannya pemberi nikmat, yang menunjukkan kemuliaan orang
yang mendapat nikmat.
Perhatikanlah secara seksama rahasia penyebutan sebab dan balasan bagi
tiga golongan ini dengan lafazh yang ringkas. Pemberian nikmat kepada
mereka mencakup nikmat hidayah, berupa ilmu yang bermanfa-at dan
amal yang shalih atau petunjuk dan agama yang benar, di samping
kesempumaan nikmat pahala. Lafazh an'amta 'alaihim mencakup dua
perkara ini.
Penyebutan murka Allah terhadap orang-orang yang dimurkai, juga
mencakup dua perkara:
- Pembalasan dengan disertai kemurkaan, yang berarti ada siksa
dan pelecehan.
- Sebab yang membuat mereka mendapat murka-Nya.
Allah terlalu pengasih untuk murka tanpa ada ke jahatan dan kesesatan
yang dilakukan manusia. Seakan-akan murka Allah itu memang layak
diberikan kepada mereka karena kesesatan mereka. Penyebutan orang-
orang yang sesat juga mengharuskan murka Allah dan siksa-Nya terhadap
mereka. Dengan kata lain, siapa yang sesat layak mendapat siksa, sebagai
konsekuensi dari kesesatannya.
Perhatikanlah kontradiksi antara hidayah dan nikmat dengan murka dan
kesesatan. AUah menyebutkan orang-orang yang mendapat murka dan
yang sesat pada sisi yang berseberangan dengan orang-orang yang
mendapat petunjuk dan mendapat nikmat. Yang pertama seperti firman
Allah,
"Dan, barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya
baginya penghidupan yang sempit". (Thaha: 124).
Yang kedua seperti firman Allah,
"Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Rabbnya dan
merekalah orang-orang yang beruntung. " (Al-Baqarah: 5).
Ash-Shirathul-Mustaqim
Allah menyebutkan Ash-Shiratul-mustaqim dalam bentuk tunggal dan
diketahui secara jelas, karena ada lam ta'rif dan karena ada keterang-an
tambahan, yang menunjukkan kejelasan dan kekhususannya, yang berarti
jalan itu hanya satu. Sedangkan jalan orang-orang yang mendapat murka
dan sesat dibuat banyak. Firman-Nya,
"Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus,
maka ikutilah ia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang
lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kalian dari jalan-Nya. "
(Al-An'am: 153).
Allah menunggalkan lafazh ash-shirath dan sabilihi, membanyakkan
lafazh as-subula, sehingga jelas perbedaan di antara keduanya. Ibnu Mas'ud
berkata, "RasuluUah Shallallahu Alaihi wa Sallam menorehkan satu garis di
hadapan kami, seraya bersabda, 'Ini adalah jalan Allah'. Kemudian be-liau
menorehkan beberapa garis lain di kiri kanan beliau, seraya bersabda, 'Ini
adalah jalan-jalan yang lain. Pada masing-masing jalan ini ada syetan yang
mengajak kepadanya'. Kemudian beliau membaca ayat, 'Dan bahwa...'."
Pasalnya, jalan yang menghantarkan kepada Allah hanya ada satu,
yaitu jalan yang karenanya Allah mengutus para rasul dan menurunkan
kitab-kitab. Tak seorang pun bisa sampai kepada AUah kecuali lewat jalan
ini. Andaikan manusia melalui berbagai macam jalan dan membuka ber-
bagai macam pintu, maka jalan itu adalah jalan buntu dan pintu. itu terkunci.
Ash-Shirathul-mustaqim adalah jalan Allah. Sebagaimana yang per-
nah kami singgung, Allah mengabarkan bahwa ash-shirath itu ada pada
Allah dan Allah ada pada ash-shirathul-mustaqim. Yang demikian ini dise-
butkan di dua tempat dalam Al-Qur'an:
Amui^a Jal jj-ia ^Jic ^j ^]
"Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang lurus. " (Hud: 56).
^J^ (jS \^^ fls^ Ls^ J^. *^ (*^' IaA^I (jjl^J ^^^ ^1 '-r'^>*^J
"Don A/to/z membuat perumpamaan: Dua orang lelald, yang seorang
bisu, tidak dapat berbuat sesuatu pun dan dia menjadi beban ataspe-
nanggungnya, kemana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia
tidak dapat mendatangkan suatu kebajikan pun. Samakah orang itu
dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia beradapula di
atas jalan yang lurus?" (An-Nahl: 76).
Inilah perumpamaan yang diberikan Allah terhadap para berhala
yang tidak dapat mendengar, tidak dapat berbicara dan tidak berakal, yang
justru menjadi beban bagi penyembahnya. Berhala membutuhkan
penyembahnya agar dia membawa, memindahkan dan meletakkannya di
tempat tertentu serta mengabdi kepadanya. Bagaimana mungkin mereka
mempersamakan berhala ini dengan AUah yang menyuruh kepada keadilan
dan tauhid, Allah yang berkuasa dan berbicara, yang Maha-kaya, yang ada
di atas ash-shirathul-mustaqim dalam perkataan dan perbuatan-Nya?
Perkataan AUah benar, lurus, berisi nasihat dan petunjuk, perbuatan-Nya
penuh hikmah, rahmat, bermaslahat dan adil.
Inilah pendapat yang paling benar tentang hal ini, dan sayangnya
jarang disebutkan para mufassir atau pun ulama lainnya. Biasanya mereka
lebih mem-prioritaskan pendapat pribadi, baru kemudian menyebutkan
dua ayat ini, seperti yang dilakukan Al-Baghawy. Sementara Al-Kalby
berpendapat, "Artinya Dia menunjukkan kalian kepada jalan yang lurus."
Kami katakan, petunjuk-Nya kepada jalan yang lurus merupakan
keharusan keberadaan Allah di atas ash-shirathul-mustaqim. Petunjuk-Nya
dengan perbuatan dan perkataan-Nya, dan Dia berada di atas ash-shirathul-
mustaqim dalam perbuatan dan perkataan-Nya. Jadi pendapat ini tidak
bertentangan dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa Dia berada
di atas ash-shirathul-mustaqim.
Jika ada yang mengatakan, "RasuluUah Shallallahu Alaihi wa Sal-lam
menyuruh kepada keadilan", berarti beliau berada di atas ash-shirathul-
mustaqim. Hal ini dapat kami tanggapi sebagai berikut: Inilah yang memang
sebenarnya dan tidak bertentangan dengan pendapat di atas. AUah berada
di atas ash-shirathul-mustaqim, begitu pula Rasul-Nya. Beliau tidak
menyuruh dan tidak berbuat kecuali menurut ketentuan dari Allah.
Berdasarkan pengertian inilah perumpamaan dibuat untuk meng-
gambarkan pemimpin orang-orang kafir, yaitu berhala yang bisu, yang
tidak mampu berbuat apa pun untuk menunjukkan kepada hidayah dan
kebaikan. Sedangkan pemimpin orang-orang yang baik, RasuluUah Shal-
lallahu Alaihi wa Sallam menyurah kepada keadilan, yang berarti beliau
berada di atas ash-shirathul-mustaqim.
Karena orang yang mencari ash-shirathul-mustaqim masih mencari
sesuatu yang lain, maka banyak orang yang justru menyimpang dari jalan
luras itu. Karena jiwa manusia diciptakan dalam keadaan takut jika sendiri-an
dan lebih suka mempunyai teman karib, maka Allah juga mengingat-kan
tentang teman karib saat melewati jalan ini. Orang-orang yang layak
dijadikan teman karib adalah para nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin.
Mereka inilah orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah. Dengan begitu
rasa takut dari gangguan orang-orang di sekitamya karena dia sendi-rian saat
meniti jalan, menjadi sirna. Dia tidak risau karena harus berbe-da dengan
orang-orang yang menyimpang dari jalan tersebut. Mereka adalah
golongan minoritas dari segi kualitas, sekaUpun mereka merupakan
golongan mayoritas dari segi kuantitas, seperti yang dikatakan se-bagian
salaf, "Ikutilah jalan kebenaran dan jangan takut karena minimnya orang-
orang yang mengikuti jalan ini. Jauhilah jalan kebatilan dan jangan tertipu
karena banyaknya orang-orang yang mengikutinya." Jika engkau meniti
jalan kebenaran, teguhkan hatimu dan tegarkan langkah kakimu, jangan
menoleh ke arah mereka sekaUpun mereka memanggil-manggilmu, karena
jika sekaU saja engkau menoleh, tentu mereka akan menghambat
perjalananmu.
Karena memohon petunjuk jalan yang lurus merupakan permo-
honan yang paling tinggi nilainya, maka AUah mengajarkan kepada hamba-
hamba-Nya bagaimana cara berdoa kepada-Nya dan memerintahkan agar
mereka mengawahnya dengan pujian dan pengagungan kepada-Nya,
kemudian menyebutkan ibadah dan pengesaan-Nya. Jadi ada dua macam
tawassul dalam doa:
1. Tawassul dengan asma' dan sifat-sifat-Nya serta memuji-Nya.
2. Tawassul dengan beribadah dan mengesakan-Nya.
Surat Al-Fatihah juga memadukan dua tawassul ini. Setelah dua ta-
wassul ini digunakan, bisa disusul dengan permohonan yang paling pen-
ting, yaitu hidayah. Siapa pun yang berdoa dengan cara ini, maka doanya
layak dikabulkan.
Cakupan Surat Al-Fatihah terhadap Macam-macam
Tauhid
Tauhid itu ada dua macam:
1. Tauhid dalam iknu dan keyakinan.
2. Tauhid dalam kehendak dan tujuan.
Yang pertama disebut tauhid ilmu karena keterkaitannya dengan
pengabaran dan pengetahuan. Tauhid kedua yang disebut tauhid kehendak
dan tujuan, dibagi menjadi dua macam: Tauhid dalam Rububiyah dan
tauhid dalam Uluhiyah.
Tauhid ilmu berkisar pada penetapan sifat-sifat kesempurnaan,
penafian penyerapaan, peniadaan aib dan kekurangan. Hal ini bisa dike-
tahui secara global maupun secara terinci. Secara global dapat dikatakan,
"Penetapan pujian hanya bagi Allah". Adapun secara terinci dapat dika-
takan, "Penyebutan sifat Uluhiyah, Rububiyah, rahmah dan kekuasaan.
Empat sifat ini merupakan pusaran asma' dan sifat."
Pujian di sini berarti pujian terhadap Dzat yang dipuji dengan me-
nyebutkan sifat-sifat kesempurnaan dan keagungan-Nya, disertai kecin-
taan, ridha dan ketundukan kepada-Nya. Seseorang tidak bisa disebut
orang yang memuji jika dia mengingkari sifat-sifat yang dipuji, tidak
mencintai, tidak tunduk dan ridha kepadanya. Jika sifat-sifat kesempur-
naan yang dipuji lebih banyak, maka pujian pun semakin sempurna.
Begitu pula sebaliknya. Karena itu segala pujian hanya tertuju kepada
Allah karena kesempurnaan dan banyaknya sifat-sifat yang dimiliki-Nya,
yang selain AUah tidak mampu menghitungnya. Karena itu pula Allah
mencela sesembahan orang-orang kafir dengan meniadakan sifat-sifat
kesempurnaan darinya. Allah mencelanya sebagai sesuatu yang tidak bisa
mendengar, melihat, berbicara, memberi petunjuk, mendatangkan man-
faat dan mudharat. Maka AUah menjelaskan hal ini seperti dalam perka-
taan Ibrahim Al-Khalil,
.tU
Lnjoi t£iic. t5^. ^J J' ^.U ^J 2:'*^. ^ ^ "^^ (*^
"Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak
mendengar, tidak tnelihat dan tidak dapat menolongmu sedikitpun?"
(Maryam: 42).
Andaikata sesembahan Ibrahim seperti sesembahan bapaknya, Azar,
tentu bapaknya akan menjawab, "Toh sesembahanmu seperti itu pula.
Maka buat apa kamu mengingkari aku?" Sekalipun begitu sebenarnya
Azar juga tahu siapa Allah, sama seperti orang-orang kafir Quraisy yang tahu
siapa AUah, tapi mereka menyekutukan-Nya. Begitu pula kaum Musa. Firman
Allah,
"Dan kaum Musa, setelah kepergian Musa ke gunung Thur membuat
dari perhiasan-perhiasan (emas) mereka anak lembu yang bertubuh
dan bersuara. Apakah mereka tidak mengetahui bahwa anak lembu itu
tidak dapat berbicara dengan mereka dan tidak dapat (pula) menun-jukkan
jalan kepada mereka? Mereka menjadikannya (sebagai sesembahan) dan
mereka adalah orang-orang yang zhalim. " (Al-A'raf: 148).
Jika ada yang berkata, "Bukankah Allah tidak bisa berbicara dengan
hamba-Nya?" Maka dapat dijawab sebagai berikut: Allah berbicara dengan
hamba-hamba-Nya. Di antara mereka ada yang diajak berbicara dengan
AUah dari balik hijab, yang lain ada yang tanpa perantara, seperti Musa,
ada yang berbicara dengan Allah lewat perantara malaikat yang diutus,
yaitu para nabi dan rasul, dan Allah berbicara dengan seluruh ma-nusia lewat
para rasul-Nya. Allah menurunkan firman-Nya kepada mereka yang
disampaikan para rasul, "Ini adalah firman Allah dan Dia meme-rintahkan
agar kami menyampaikannya kepada kalian." Berangkat dari sinilah orang-
orang salaf berkata, "Siapa mengingkari keadaan AUah yang dapat berbicara,
berarti dia mengingkari risalah para rasul." Begitu pula kaitannya dengan
sifat-sifat Allah selainnya.
Dari sini dapat diketahui bahwa hakikat pujian mengikuti ketetapan
sifat-sifat kesempurnaan, dan penafian hakikat pujian ini juga mengikuti
penafian sifat-sifat kesempurnaan.
Hakikat Asma' Allah
Pembuktian asma' AUah yang Uma (AUah, Ar-Rabb, Ar-Rahman, Ar-
Rahim dan Al-Malik), dilandaskan kepada dua dasar:
Dasar Pertama:
Asma' Allah menunjukkan sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Asma' ini
merupakan sifat, yang semuanya baik, husna. Sebab jika asma' itu hanya
sekedar lafazh yang tidak mempunyai makna apa pun, maka ia tidak bisa
disebut husna dan tidak menunjukkan kesempurnaan, lalu akan terjadi
kerancuan antara dendam dan marah yang menyertai rahmat dan ihsan,
sehingga kalau berdoa kita harus mengucapkan, "Ya Allah, sesungguh-nya
aku menganiaya diriku sendiri, maka ampunilah aku karena Engkau
pendendam". Penafian makna Asma'ul- husna termasuk kufur yang ter-
besar. Jika Allah mensifati Diri-Nya Al-Qawiyyu, berarti memang Dia benar-
benar mempunyai kekuatan. Begitu pula sifat-sifat lainnya.
Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sal-
lam, behau bersabda.
JL&ajuO
"Sesungguhnya Allah tidak tidur dan tidak sehanisnya Dia tidur. Dia
merendahkan timbangan dan meninggikannya Amalpada malam hari
disampaikan kepada-Nya sebelum siang hari, dan amal slang hari di-
sampaikan kepada-Nya sebelum malam hari. Hijab-Nya adalah cahaya,
yang andaikan hijab ini disingkap, maka kemuliaan Wajah-Nya be-
nar-benar membakar pandangan makhluk yang memandang-Nya. "
Menafikan makna asma'-Nya juga termasuk kufur yang paling be-
sar. Gambaran kufur lainnya adalah menamakan berhala dengan asma'
Allah, sebagaimana mereka menamakannya alihah (sesembahan). Ibnu
Abbas dan Mujahid berkata, "Mereka mengambil asma' Allah lalu mena-
makan berhala-berhala mereka dengan asma'-Nya, dengan sedikit me-
ngurangi atau menambahi. Mereka mengambil nama Lata dari AUah, Uzza
dari Al-Aziz, Manat dari Al-Mannan."
DasarKedua:
Satu dari berbagai asma' Allah, di samping menunjukkan kepada
Dzat dan sifat yang disesuaikan dengannya, maka ia juga menunjukkan
dua bukti lainnya yang sifatnya kandungan dan keharusan. As-Sami'
menunjukkan kepada Dzat Allah dan pendengaran-Nya, juga kepada Dzat
semata dan kepada pendengaran yang menjadi kandungannya. Begitu pula
sifat- sifat lainnya.
Jika sudah ada kejelasan tentang dua dasar ini, maka asma' Allah
menunjukkan kepada keseluruhan Asma'ul-husna dan sifat-sifat yang
tinggi. Hal ini menunjukkan kepada Ilahiyah-Nya, dengan penafian keba-
likannya.
Maksud sifat-sifat Ilahiyah adalah sifat-sifat kesempurnaan, yang
terlepas dari penyerupaan dan permisalan, aib dan kekurangan. Karena
Allah menambahkan semua Asma'ul-husna ke asma'-Nya yang agung ini
(Allah).
Asma' "Allah" layak untuk semua makna Asma'ul-husna dan me-
nunjukkan kepadanya secara global. Sedangkan Asma'ul-husna itu sendiri
merupakan rincian dari sifat-sifat Ilahiyah yang berasal dari asma"'Allah".
Asma' "Allah" menunjukkan keadaan-Nya sebagai Dzat yang disembah.
Semua makhluk menyembah-Nya dengan penuh rasa cinta, pengagungan
dan ketundukan. Hal ini mengharuskan adanya kesempurnaan Rububiyah
dan rahmat-Nya, yang juga mencakup kesempurnaan kekuasaan dan puji-
Nya.
Sifat keagungan dan keindahan lebih dikhususkan untuk nama
"Allah". Perbuatan, kekuasaan, kesendirian-Nya dalam memberi manfaat
dan mudharat, memberi dan menahan, kehendak, kesempumaan kekuatan
dan penanganan urusan makhluk, lebih dikhususkan untuk nama " Ar-
Rabb". Sifat ihsan, murah hati, pemberi dan lemah lembut lebih dikhususkan
untuk nama "Ar-Rahman". Masing-masing disesuaikan dengan kaitan sifat.
Ar-Rahman artinya yang memiUki sifat rahmat. Sedang-kan Ar-Rahim
adalahyang mengasihi hamba-hamba-Nya. Karena itu dik-takan dalam firman-
Nya, "Dia Ar-Rahim (Maha Pengasih) terhadap hamba-hamba-Nya", dan
tidak dikatakan, "Ar-Rahman (yang memiliki sifat rahmat) terhadap
hamba-hamba-Nya".
Perhatikanlah kaitan penciptaan dan urusan dengan tiga asma' ini,
yaitu Allah, Ar-Rabb dan Ar-Rahman, yang dari tiga asma' ini ada pen-
ciptaan, urusan, pahala dan siksa, bagaimana makhluk dihimpunkan dan
dipisah-pisahkan.
Asma' Ar-Rabb memiliki cakupan yang menyeluruh terhadap semua
makhluk. Dengan kata lain, Dia adalah pemilik segala sesuatu dan
penciptanya, yang berkuasa terhadapnya dan tidak ada sesuatu pun yang
keluar dari Rububiyah-Nya. Siapa pun yang ada di langit dan bumi meru-
pakan hamba-Nya, ada dalam genggaman dan kekuasaan-Nya. Mereka
berhimpun berdasarkan sifat Rububiyah dan berpisah dengan sifat Ilahi-
yah. Hanya Dialah yang disembah, kepada-Nya mereka tunduk, bahwa
Dialah Allah yang tidak ada sesembahan selain-Nya. Ibadah, tawakal,
berharap, takut, mencintai, pasrah, tunduk tidak boleh diperuntukkan
kecuali bagi-Nya semata.
Berangkat dari sinilah manusia terbagi menjadi dua golongan: Go-
longan orang-orang musyrik yang berada di neraka, dan golongan orang-
orang muwahhidin yang berada di surga. Yang membuat mereka terpi-sah
adalah Ilahiyah, sedangkan Rububiyah membuat mereka bersatu. Agama,
syariat, perintah dan larangan berasal dari sifat Ilahiyah. Penciptaan,
pengadaan, penanganan urusan dan perbuatan berasal dari sifat Rububiyah.
Pahala, balasan, siksa, surga dan neraka berasal dari sifat Al- Malik. Artinya,
Dialah yang menguasai hari pembalasan. Dia memerin-tahkan mereka
berdasarkan Ilahiyah- Nya, menunjuki dan menyesatkan mereka berdasarkan
Rububiyah-Nya, memberi pahala dan siksa berdasarkan kekuasaan dan
keadilan-Nya. Setiap masalah ini tidak bisa dipisah-kan dari yang lain.
Disebutkannya asma'-asma' ini setelah al-hamdu (pujian) dan pe-
ngaitan al-hamdu dengan segala cakupannya, menunjukkan bahwa me-
mang Dia adalah yang terpuji dalam Ilahiyah-Nya, terpuji dalam Rubu-
biyah-Nya, terpuji dalam Rahmaniyah-Nya, terpuji dalam kekuasaan-Nya, Dia
adalah sesembahan yang terpuji, ilah dan Rabb yang terpuji, Rahman yang
terpuji, Malik yang terpuji. Dengan begitu Dia memiliki seluruh
kesempumaan; kesempumaan dalam asma' Allah secara sendirian dan
kesempumaan dalam asma'-asma' lainnya secara sendirian serta kesem-
pumaan dalam penyertaan satu asma' dengan asma' lain. Karena itu sering
disebutkan dua asma' secara berurutan, seperti: Wallahu ghaniyyun ha-
mid, -wallahu alimun hakim, wallahu ghafurur rahim. Al-Ghaniyyu meru-
pakan sifat kesempumaan dan Al-Hamid merupakan sifat kesempumaan
pula. Penyertaan dua asma' ini merupakan kesempurnaan-Nya, begitu
pula penyertaan sifat- sifat yang lain.
Tingkatan-tingkatan Hidayah Khusus dan Umum
Tingkatan Pertama:
Tingkatan pembicaraan Allah dengan hamba-Nya secara sadar dan
langsung tanpa perantara. Ini merupakan tingkatan hidayah yang pahng
tinggi, sebagaimana Allah yang berbicara dengan Musa bin Imran. Allah
befirman.
f ^j]^'^ (_gJUO^ AIII aJS
"Dan, Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung. " (An-Nisa':
164).
Sebelum ayat ini disebutkan wahyu Allah yang diberikan kepada
Nuh dan para nabi sesudahnya, kemudian mengkhususkan Musa, bahwa
Allah berbicara dengan beliau. Ini menunjukkan bahwa pembicaraan ini
lebih khusus dari sekedar memberikan wahyu seperti yang disebutkan
dalam ayat sebelumnya. Lalu hal ini ditegaskan lagi dengan adanya mash-
dar dari kallama. Hujjah ini untuk menyanggah pendapat jahmiyah, Mu'-
tazilah dan golongan-golongan lain yang mengatakan bahwa itu artinya
wahyu atau isyarat atau pengenalan terhadap suatu makna, yang artinya
bukan bicara secara langsung. Al-Fara' berkata, "Orang-orang Arab menye-but
kontak dengan orang lain adalah bicara, dengan cara apa pun dan
bagaimana pun. Tetapi makna ini tidak disertai dengan mashdar dari fi'il
yang sama. Jika dikuatkan dengan mashdar, berarti hakikatnya memang
bicara. Maka apabila dikatakan, "Fulan araada iraadatan", artinya Fulan
benar-benar menghendaki.
Ada firman Allah yang lain tentang hal ini,
(iljll jlaJl (_5Jjl i-Jj Jli Ajj A^aKj UjllLa] (_gJuoj-a ^l^ UJj
"Dan, tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu
yang telah Kami tentukan dan Rabbnya telah berbicara (langsung)
kepadanya, Musa berkata, 'Ya Rabbi, tampakkanlah (Diri Engkau) kepa-
daku agar aku dapat melihat kepada Engkau '. " (Al- A'raf: 143).
Pembicaraan ini berbeda dengan yang pertama saat Dia mengu-
tusnya kepada Fir'aun. Dalam pembicaraan kali ini Musa meminta untuk
dapat melihat Allah. Pembicaraan kali ini berasal dari janji Allah kepada-
nya. Sementara pada pembicaraan yang pertama tidak didahului dengan
janji.
Tingkatan Kedua:
Tingkatan wahyu yang secara khusus diberikan kepada para nabi.
Allah befirman,
"Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana
Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang ke-
mudiannya. " (An-Nisa': 163).
"Dan, tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata dengan
dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dari belakang tabir. " (Asy-
Syura: 51).
AUah menjadikan wahyu dalam ayat kedua ini termasuk bagian dari
bicara, sedangkan dalam ayat pertama menjadi la wan bicara. La wan bica-ra
secara khusus artinya tanpa ada perantara, sedangkan bagian dari bicara
yang bersifat umum, berarti penyampaian makna dengan berbagai macam
cara.
Tingkatan Ketiga:
Mengirim utusan dari jenis malaikat kepada utusan dari jenis manusia,
lalu utusan malaikat ini menyampaikan wahyu dari Allah seperti yang
diperintahkan-Nya.
Tiga jenis tingkatan ini dikhususkan hanya bagi para rasul dan nabi,
tidak berlaku untuk selain mereka. Utusan malaikat itu bisa berwujud
manusia berjenis laki-laki, yang bisa dilihat dengan mata telanjang dan
juga berbicara empat mata, dan adakalanya dia menampakkan diri dalam
wujud aslinya. Adakalanya malaikat ini masuk ke dalam diri rasul dan
menyampaikan wahyu seperti yang diperintahkan, lalu dia melepaskan diri
darinya. Tiga cara ini pemah dialami nabi kita Muhammad Shallallahu Alaihi
wa Sallam.
Tingkatan Keempat:
Dengan cara bisikan. Tingkatan ini berbeda dengan wahyu yang si-
fatnya khusus dan juga berbeda dengan tingkatan para shiddiqin, seperti
yang dialami Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu. Hal ini pernah
ditegaskan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
LjlkaJl jjj jjuxk aJ^\ oJiA ^ jj£j jli jjj.la^ ~<^;S ^'^| ^ j\£ Al\
"Sesungguhnya di tengah umat-umat sebelum kalian ada orang-orang
yang mendapat bisikan. Sedangkan dalam umat ini adalah Umar bin
Al-Khaththab. "
Orang yang mendapat bisikan ialah orang yang mendapat bisikan
(firasat) itu secara rahasia di dalam hatinya tentang sesuatu, kemudian dia
menyatakannya. Lalu bagaimana dengan sekian banyak orang yang
dikuasai imajinasi dan hayalan, yang mengatakan, "Hatiku mendapat
bisikan dari Allah?" Memang tidak bisa disangkal bahwa hatinya mendapat
bisikan itu. Tapi dari mana dan dari siapa? Dari syetan ataukah dari Allah?
Jika dia mengaku berasal dari AUah, berarti dia menyandarkan bisikan itu
dari seseorang yang sebenarnya dia pun tidak mengetahuinya secara pasti,
bahwa yang membisikkan kepadanya itu benar-benar mem-bisikkan. Ini
sama saja bohong. Sementara Umar bin Al-Khaththab, salah seorang dari
umat ini yang telah dilejitimasi oleh RasuluUah Shallallahu Alaihi wa
Sallam sebagai orang yang mendapat bisikan dari Allah, tidak membuat
pengakuan seperti itu dan berkata seperti itu, kapan pun, karena Allah telah
melindungi dirinya agar tidak berkata seperti itu. Bahkan suatu hari saat
sekretarisnya menulis, "Inilah yang diperlihatkan Allah kepada Amirul-
Mukminin, Umar bin Al-Khaththab", dia berkata, "Tidak, hapus itu. Tapi
tuhslah: Inilah yang dilihat Umar bin Al-Khaththab. Jika benar, maka ini
datangnya dari Allah, dan jika salah, maka ini dari Umar, sedangkan Allah
dan Rasul-Nya terbebas darinya." Dia juga pernah berkata ketika
memutuskan perkara tentang seorang anak yang tidak jelas bapak ibunya,
"Aku memutuskannya berdasarkan pendapatku. Jika benar, maka itu
datangnya dari Allah, dan jika salah, maka itu dariku dan dari syetan."
Dengan begitu engkau bisa membedakan antara sosok Umar bin Al-
Khaththab dengan sekian banyak orang yang dikuasai hayalan, pem-bual
dan permisivis yang mengatakan, "Hatiku mendapat bisikan (wang-sit) dari
Allah." Perhatikan dan bandingkan antara keduanya, kemudian berikan
hak kepada masing-masing secara proporsional, jangan samakan pembual
dengan orang yang tulus.
Tingkatan Kelima:
Dengan cara pemahaman. Allah befirman,
Lalc-j LaL^ UjjI !il^j ^LuLuo IaLla^ 4(jJ^ljuo M/"^^j
"Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman di waktu keduanya mem-
berikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh
kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan, adalah Kami menyaksikan
keputusan yang diberikan oleh mereka itu, maka Kami telah memberikan
pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat) dan ilmu. "
(Al-Anbiya': 78-79).
AUah menyebutkan dua nabi yang mulia ini, memuji keduanya de-
ngan ilmu dan hukum, mengkhususkan Sulaiman dengan pemahaman
dalam peristiwa ini.
Ah bin Abu Thalib pemah ditanya seseorang, "Apakah RasuluUah
Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah mengkhususkan kalian para shahabat
dengan sesuatu tanpa yang lain?" Ali menjawab, "Tidak pernah, kecuali
hanya pemahaman tentang Kitab-Nya seperti yang diberikan Allah kepada
seorang hamba."
Pemahaman ini datangnya dari Allah dan Rasul-Nya, yang meru-
pakan inti kebenaran. Ada perbedaan di antara orang-orang yang berilmu
sehubungan dengan pemahaman ini, sampai-sampai ada satu orang yang
disamakan dengan seribu orang. Perhatikan pemahaman yang dimiliki
Ibnu Abbas, saat dia ditanya Umar dalam pertemuan yang dihadiri para
shahabat yang pernah ikut perang Badr dan juga lain-lainnya tentang
makna surat An-Nashr. Menurut Ibnu Abbas, surat ini merupakan
pengabaran tentang kedekatan ajal beliau. Ternyata jalan pikiran Ibnu
Abbas ini cocok dengan jalan pikiran Umar sendiri. Hanya mereka ber-dua
yang memahami seperti ini, sekalipun Ibnu Abbas adalah orang yang paling
muda di antara para shahabat yang ada pada waktu itu. Dari sisi mana
surat ini bisa dipahami sebagai pengabaran tentang ajal beliau yang sudah
dekat kalau bukan karena pemahaman yang sifatnya khusus?
Tingkatan Keenam:
Penjelasan secara umum. Artinya, penjelasan tentang kebenaran dan
kemampuan untuk membedakannya dari yang batil, berdasarkan dalil,
bukti dan saksi-saksi penguat, sehingga lalu berubah seperti sebuah
kenyataan di dalam hati, seperti sebuah kenyataan yang tampak jelas di
depan mata kepala. Tingkatan ini merupakan hujjah Allah atas makhluk-Nya.
Dia tidak mengadzab dan tidak menyesatkan seseorang kecuali sete-lah orang
tersebut mendapatkan kejelasan ini. Firman-Nya,
ijjSin {jd k^ ^JJJJ (^^^ >A 1^ Jl ^JLi Laji ISi-^aA AjII ij\^ {jdj
"Dan, Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah
Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada
mereka apa yang hams dijauhi. " (At-Taubah: 115).
Kesesatan ini merapakan hukuman bagi mereka yang datangnya
dari Allah, karena Dia telah menjelaskan kepada mereka, namun mereka
tidak mau menerima dan tidak mengamalkannya. Maka Allah menghu-
kum mereka dengan cara menyesatkannya dari petunjuk. Jadi, AUah sama
sekali tidak menyesatkan seseorang kecuali setelah ada penjelasan ini.
Jika engkau sudah memahami hal ini, tentu engkau bisa memahami ra-
hasia takdir, sehingga engkau tidak terasuki sekian banyak keragu-raguan dan
syubhat tentang masalah ini.
Penjelasan ini ada dua macam: Penjelasan dengan ayat-ayat yang bisa
didengar, dan penjelasan dengan ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) yang
bisa diUhat mata. Keduanya merupakan bukti dan penjelasan tentang
keesaan Allah dan kesempurnaan sifat-sifat-Nya. Karena itu Allah menyeru
hamba-hamba-Nya lewat ayat-ayat-Nya yang bisa dibaca agar memikirkan
tanda-tanda kekuasaan-Nya yang bisa diUhat mata. Karena penjelasan
inilah para rasul diutus dan pengemban sesudah para nabi adalah para
ulama. Setelah ada penjelasan itu, maka Allah menyesatkan siapa pun yang
dikehendaki-Nya. Allah menjelaskan, dan Allah menyesatkan siapa yang
dikehendaki-Nya serta memberikan petunjuk kepada siapa pun yang
dikehendaki-Nya berdasarkan hikmah-Nya.
Tingkatan Ketujuh:
Penjelasan bersifat khusus. Maksudnya penjelasan yang mendatang-kan
petunjuk khusus, atau penjelasan yang disusul dengan pertolongan, taufik
dan pengenyahan sebab-sebab kehinaan dari hati, sehingga dia tidak
kehilangan hidayah. Allah befirman,
"Jika kamu sangat mengharapkan agar mereka dapat petunjuk maka
sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada orang yang
disesatkan-Nya. " (An-Nahl: 36).
"Sesungguhnya kami tidak akan dapat memberi petimjuk kepada orang
yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang
dikehendaki-Nya. " (Al-Qashash: 56).
Tingkatan Kedelapan:
Lewat pendengaran. Allah befirman,
(*^*^^^ 'J:i^ ^ ^^ ^ y3
"Kalau sekiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentu-
lah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. " (Al- Anfal: 23)
Memperdengarkan di sini lebih khusus daripada memperdengarkan
hujjah dan tabUgh, sebab yang demikian itu berangkat dari diri mereka sendiri
dan karenanya AUah menegakkan hujjah atas mereka. Yang demikian itu
berarti memperdengarkan teUnga, sedangkan yang ini memperdengarkan
hati. Perkataan mempunyai lafazh dan makna, yang berkaitan dengan
teUnga dan hati. Mendengarkan lafazh merupakan bagian telinga,
sedangkan mendengarkan hakikat makna dan tujuannya merupakan
bagian hati. Allah meniadakan pendengaran maksud dan tujuan yang
merupakan bagian hati dari orang-orang kafir, dan hanya menetapkan
pendengaran lafazh-lafazh yang merupakan bagian telinga.
Perbedaan antara tingkatan ini dengan tingkatan pemahaman, bahwa
tingkatan ini diperoleh lewat sarana telinga, sedangkan tingkatan
pemahaman sifatnya lebih umum. Jadi tingkatan ini lebih khusus daripada
tingkatan pemahaman, jika dilihat dari sisi ini. Tapi tingkatan pemahaman
juga bisa lebih khusus jika dilihat dari sisi yang lain lagi, yaitu karena ia
berkaitan dengan makna yang dimaksudkan, kaitan dan isyarat-nya. Inti
tingkatan mendengar ialah penyampaian maksud ke hati, yang berarti
haras ada penerimaan pendengaran. Berarti dalam tingkatan ini ada tiga
tingkatan lain: Telinga yang mendengar, hati yang mendengar dan
penerimaan atau pemenuhan.
Tingkatan Kesembilan:
Ilham. Allah befirman,
IaIjSjj lAjjaJ l^Ja^U cIaI^^ Laj /jAjj
"Demi jiwa dan penyempumaannya (ciptaannya). Maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. "
(Asy-Syams: 7-8).
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada Hushain bin Al-
Mundzir saat dia masuk Islam,
"Katakanlah, 'Ya Allah, ilhamkanlah kepadaku petunjukku dan
lindungilah aku dari kejahatan diriku. "
Pengarang Manazilus-Sa'irin (Abu Ismail) menganggap ilham ini sama
kedudukannya dengan bisikan di dalam hati. Jadi ilham lebih tinggi dari-
pada firasat. Sebab boleh jadi firasat itu jarang-jarang terjadi atau bersifat
insidental dan pelakunya tidak bisa menentukan kapan waktunya atau
bahkan ia bisa mengecohnya. Sementara kedudukan ilham sudah jelas.
Saya katakan, bisikan di dalam hati lebih khusus daripada ilham. Ilham
bersifat umum bagi orang-orang Mukmin, tergantung pada iman mereka.
Setiap orang Mukmin mendapat ilham petunjuk dari Allah, yang
menghasilkan keimanan kepada- Nya. Sedangkan bisikan dalam hati ha-nya
dikhususkan bagi orang-orang yang memang mendapatkannya, se-perti
Umar bin Al-Khaththab. Jadi bisikan hati ini merupakan ilham khusus, atau
bisa dikatakan wahyu yang diberikan kepada selain para nabi, baik mukaUaf
atau bukan mukaUaf. Wahyu yang diberikan kepada mukallaf seperti firman
Allah,
"Dan, Kami ilhamkan kepada ibu Musa, 'Susuilah dia'. " (Al-Qashash:7).
Wahyu yang diberikan kepada yang bukan mukallaf,
"Dan, Rabbmu mewahyukan kepada lebah, 'Buatlah sarang-sarang di
bukit-bukit, di pohon-pohon kayu dan di tempat-tempat yang dibikin
ma/2M^/fl'. "(An-Nahl: 68).
Jika ilham ini dianggap lebih tinggi daripada kedudukan firasat,
maka justru bisa melemahkan anggapan itu sendiri. Sebab seperti yang
sudah dikatakan di atas, firasat itu jarang-jarang terjadinya. Sementara
sesuatu yang jarang-jarang terjadi tidak mempunyai hukum. Jelasnya
tentang masalah ini, masing-masing dari firasat dan ilham dibagi menjadi
umum dan khusus. Yang khusus pada masing-masing lebih tinggi dari yang
umum pada selainnya. Tapi perbedaan yang jelas di antara kedua-nya,
firasat lebih berkaitan dengan satu jenis tindakan atau perbuatan.
sedangkan ilham murni pemberian, yang tidak bisa diperoleh dengan
tindakan atau usaha tertentu.
Tingkatan Kesepuluh:
Mimpi yang benar, yang merupakan satu bagian dari nubuwah, seperti
yang dikabarkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,
"Mimpi yang benar itu merupakan satu bagian dari empat puluh enam
bagian dari nubuwah. "
Tapi dalam riwayat lain yang shahih disebutkan merupakan satu
bagian dari tujuh puluh bagian dari nubuwah. Yang pasti, mimpi meru-
pakan permulaan wahyu. Kebenarannya tergantung kepada orang yang
bermimpi, dan mimpi yang pahng benar ialah mimpinya orang yang per-
kataannya paling benar dan jujur. Jika kiamat sudah dekat, maka hampir
tidak ada mimpi yang meleset, karena jaraknya yang jauh dari masa nubu-
wah. Sementara pada masa nubuwah tidak membutuhkan mimpi-mimpi
yang benar ini, karena sudah ada kekuatan cahaya nubuwah.
Kebalikan dari mimpi yang benar ini adalah karamah yang muncul
setelah masa shahabat, namun tidak muncul pada masa dekatnya hari
kiamat. Hal ini disebabkan kuat dan lemahnya iman. Begitulah yang dite-
gaskan Al-Imam Ahmad.
Ubadah bin Ash-Shamit berkata, "Mimpi orang Mukmin merupa-
kan perkataan yang disampaikan AUah kepada hamba-Nya ketika dia ti-
dur."
Mimpi itu layaknya suatu pengungkapan, di antaranya ada yang
berasal dari Allah, ada yang berasal dari kejiwaan dan ada yang berasal
dari syetan, sebagaimana sabda RasuluUah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
Aj djJi^. U^ hjjj jUa^l t> jjjpu hjjj ill t> hjj :AjMj hjj\
"Mimpi itu ada tiga macam: Mimpi dari Allah, mimpi sedih dari syetan
dan mimpi yang terbawa bisikan seseorang ke dalam hatinya saat
terjaga, lalu dia memimpikannya saat tidur. "
Mimpi yang menjadi sebab hidayah adalah mimpi yang secara khu-
sus datangnya dari Allah. Sementara mimpi para nabi sama dengan wahyu,
karena mimpi mereka terUndung dari syetan. Begitulah kesepakatan umat.
Karena itu Al-Khalil Ibrahim hendak menyembelih putranya, sekalipun
itu bermula dari perintah dalam mimpi yang beliau alami. Sedangkan
mimpi selain para nabi, bisa dilaksanakan seperti halnya wahyu yang jelas,
jika memang tepat. Jika tidak, maka tidak perlu diamalkan. Lalu apa ko-
mentar kalian tentang mimpi yang benar? Jika mimpi itu mimpi yang
benar, maka ia tidak akan bertentangan dengan wahyu. Siapa yang ingin
agar mimpinya benar, maka hendaklah dia terus-menerus menjaga keju-
jurannya, memakan yang halal, menjaga perintah dan larangan, tidur
dalam keadaan suci, menghadap ke arah kiblat, menyebut asma Allah
hingga matanya terlelap. Jika dia berbuat seperti ini, hampir pasti mimpi-
nya bukan mimpi yang dusta.
Mimpi yang paling benar adalah mimpi pada waktu sahur, karena
itulah waktu turunnya wahyu, rahmat, ampunan dan saat syetan me-
nyingkir jauh. Sebaliknya, mimpi pada permulaan malam adalah mimpi
yang banyak ditebari syetan dan ruh-ruh syetan.
Kemujaraban Al-Fatihah Yang Mengandung Kesembuhan
bagi Hati dan Kesembuhan bagi Badan
Kandungan Al-Fatihah yang mampu menyembuhkan hati meru-
pakan kandungannya yang paling komplit. Sumber penyakit hati dan
deritanya ada dua macam: Ilmu yang rusak dan tujuan yang rusak. Dari
dua sumber ini muncul dua penyakit lain: Kesesatan dan kemarahan.
Kesesatan merupakan akibat dari ilmu yang rusak, sedangkan kemarahan
merupakan akibat dari tujuan yang rusak. Dua jenis penyakit ini merupakan
inti dari semua jenis penyakit hati. Hidayah ke jalan yang lurus men-jamin
kesembuhan dari penyakit kesesatan. Karena itu memohon hidayah ini
merupakan doa yang paling wajib bagi setiap hamba, yang juga diwa-
jibkan atas dirinya setiap malam dan siang, dalam setiap shalat dan saat
terdesak keperluan.
Sedangkan penegasan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in secara ilmu dan
ma'rifat, amal dan kondisional, menjamin kesembuhan dari penya-kit hati
dan tujuan yang rusak. Sebab tujuan yang rusak ini berkaitan dengan
sasaran dan sarana. Siapa yang mencari tujuan yang pasti akan ter-putus
dan fana, menggunakan berbagai macam sarana untuk dapat me-raihnya,
maka hal itu justru akan menjadi beban baginya dan tujuannya jelas salah.
Inilah keadaan setiap orang yang tujuannya untuk mendapatkan hal-hal
selain Allah dari kalangan orang-orang musyrik, orang-orang yang hanya
ingin memuaskan nafsunya, para tiranyang menopang kekuasaannya dengan
segala cara, tak peduH benar maupun batil. Jika ada kebenaran yang
menghambat jalan kekuasaannya, maka mereka mendepaknya. Jika tidak
mampu mendepaknya, mereka akan menepis kebenaran itu, layaknya
pemelihara sapi yang menyingkirkan sampah di kandang. Jika mereka
tidak bisa melakukannya, mereka menghentikan langkah di jalan itu lalu
mencari jalan lain. Dengan cara apa pun mereka siap menolaknya. Jika ada
kebenaran yang mendukung kekuasaan, mereka mendukungnya, bukan
karena itu merapakan kebenaran, tapi karena kebenaran itu yang kebetulan
sejalan dengan tujuan dan nafsunya.
Karena tujuan dan sarana yang dipergunakan rusak, maka mereka
adalah orang-orang yang paling menyesal dan merugi, jika tujuan yang
mereka raih meleset. Merekalah orang-orang yang paling menyesal dan
merugi di dunia, yaitu jika kebenaran dikatakan benar dan kebatilan dika-
takan batil. Yang demikian ini seringkali terjadi di dunia. Penyesalan ini
akan semakin nyata tatkala mereka meninggal dunia dan menghadap
Allah serta berada di alam Barzakh.
Begitu pula orang yang mencari tujuan yang tinggi dan sasaran yang
mulia, namun tidak menggunakan sarana yang mendukungnya untuk
meraih tujuan itu, dia hanya mendugaduga sarana yang digunakannya itu
akan mendukungnya. Keadaan orang ini tak jauh berbeda dengan orang
yang pertama. Dia tidak akan mendapatkan kesembuhan dari penyakit ini
kecuali dengan obat iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in.
Obat ini mempunyai empat komposisi: Ibadah kepada Allah, perintah
dan larangan-Nya, memohon pertolongan dengan beribadah kepada-Nya,
tidak dengan hawa nafsu, tidak dengan pendapat manusia dan
pemikirannya, tidak dengan diri manusia dan kekuatannya. Inilah unsur-
unsur yang terkandung di dalam obat iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in. Jika
unsur-unsur ini diramu oleh seorang dokter yang berpengalaman, tentu
akan menjadi obat yang sangat mujarab.
Hati itu mudah terjangkiti dua macam penyakit yang kronis. Jika
seseorang tidak mengobatinya, tentu dia akan binasa, yaitu riya' dan taka-bur.
Obat riya adalah iyyaka na'budu, sedangkan obat takabur adalah iyyaka
nasta'in. Seringkali kami mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah
berkata, "Iyyaka na'budu menolak penyakit riya', dan iyyaka nasta'in
menolak penyakit takabur."
Jika seseorang diberi kesembuhan dari penyakit riya' dengan iyyaka
na'budu, diberi kesembuhan dari penyakit takabur dan ujub dengan iyyaka
nasta 'in, diberi kesembuhan dari penyakit kesesatan dan kebodohan dengan
ihdinash-shirathal-mustaqim, berarti dia telah diberi kesembuhan dari
segala macam penyakit. Namun di antara orang-orang yang menda-pat
kenikmatan juga ada yang mendapat murka. Mereka adalah orang-orang
yang tujuannya rusak, yang sebenarnya mengetahui kebenaran namun
menyimpanginya. Ada pula di antara mereka yang adh-dhallin (sesat),
yaitu mereka yang memiUki iknu yang rusak dan tidak mengetahui
kebenaran.
Tentang surat Al-Fatihah yang mengandung obat bagi penyakit
badan, maka akan kami jelaskan seperti yang telah dijelaskan As-Sunnah
dan dikuatkan ilmu medis serta berdasarkan pengalaman. Di dalam Ash-
Shahih disebutkan dari hadits Abul-Mutawakkil An-Najy, dari Abu Sa'id
Al-Khudry, bahwa ada beberapa orang dari shahabat Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam yang melewati sebuah perkampungan Arab dalam per-
jalanannya. Para penduduk kampung itu tidak mau menerima mereka
sebagai tamu, apalagi menjamu. Pada saat yang sama pemimpin mereka
disengat hewan. Maka penduduk kampung mendatangi mereka dan ber-
tanya, "Adakah kalian mempunyai mantera atau adakah di antara kalian
yang bisa menyembuhkan dengan mantera?"
"Ya, ada. Tapi karena kalian tidak mau menjamu kami, maka kami
tidak mau mengobati kecuali jika kalian memberikan imbalan kepada
kami."
Maka penduduk kampung itu sepakat untuk memberikan beberapa
ekor kambing. Maka setiap orang di antara para shahabat itu memba-cakan
Al-Fatihah. Seketika itu pula pemimpin kampung itu bangkit, se-akan-
akan sebelumnya dia tidak pernah sakit. Kami berkata, "Janganlah kalian
terburu-buru menerima imbalan ini sebelum kita menemui Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam. "
Setelah bertemu beliau, mereka menceritakan kejadian ini. Beliau
bersabda, "Apa pendapat kalian kalau memang Al-Fatihah itu benar-benar
merupakan ruqyah? Terimalah imbalan itu dan sisihkan bagianku."
Hadits ini menjelaskan keampuhan Al-Fatihah yang bisa menyem-
buhkan sengatan hewan, sehingga ia berfungsi sebagaimana obat, atau
bahkan lebih mujarab daripada obat itu sendiri. Padahal orang yang di-
sembuhkan itu tidak terlalu tepat untuk disembuhkan dengan cara terse-
but, entah karena penduduk kampung itu bukan orang Muslim atau karena
mereka orang-orang yang kikir. Lalu bagaimana jika yang disembuhkan
tidak seperti mereka?
Sedangkan dari teori medis, dapat dibuktikan sebagai berikut, bahwa
sengatan itu berasal dari hewan yang mempunyai racun, yang berarti
mempunyai jiwa yang kotor dan terbentuk karena amarah, lalu menyalur-
kan unsur racun yang panas lewat sengatan itu. Jika jiwa yang kotor ini
terbentuk bersamaan dengan terbentuknya kemarahan, maka ia akan
merasa senang jika dapat menyalurkan racun ke tempat yang layak mene-
rimanya, sebagaimana orang jahat yang merasa senang jika dapat me-
nyalurkan kejahatannya terhadap orang yang layak menerimanya. Bah-
kan dia merasa tersiksa jika tidak bisa menyalurkan kejahatannya itu
kepada seseorang.
Prinsip penyembuhan ialah dengan menggunakan kebalikannya dan
menjaga dengan sesuatu yang serapa. Kesehatan dijaga dengan sesuatu
yang serupa dan penyakit disembuhkan dengan kebalikannya. Ini
merapakan hukum sebab-akibat yang sudah diatur sedemikian rapa oleh
Allah Yang Maha Bijaksana. Namun hal ini tidak akan berhasil kecuaU de-
ngan kekuatan jiwa pelakunya dan reaksi penerimanya. Jika jiwa orang
yang disengat tidak layak menerima ruqyah itu dan jiwa yang membaca-kan
ruqyah tidak mampu memberikan pengarah apa-apa, maka kesem-buhan
tidak akan berhasil.
Jadi di sini ada tiga unsur: Kesesuaian obat dengan penyakit, ke-
sungguhan orang yang mengobati dan orang yang diobati bisa meneri-
manya. Jika tidak ada kelaikan pada salah satu unsur ini, maka kesem-
buhan tidak akan terjadi.
Siapa yang bisa memahami hal ini, tentu dia bisa memahami rahasia
ruqyah tersebut, bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang tidak
bermanfaat dan bisa mencocokkan obat dengan penyakit yang hendak
diobati, seperti penggunaan pedang untuk memotong barang yang
memang bisa dipotong dengan pedang itu.
Sedangkan dari kesaksian pengalaman, maka cukup banyak orang
yang mengalaminya. Saya sendiri pernah mempunyai pengalaman dalam
penggunaan Al-Fatihah sebagai ruqyah ini dengan hasil yang benar-benar
menakjubkan, terutama pada saat-saat saya menetap di Makkah. Suatu saat
saya sakit yang benar-benar amat menyiksa, hingga hampir-hampir saya
tidak bisa menggerakkan badan karenanya. Padahal saat itu saya harus
mengerjakan thawaf dan lain-lainnya. Maka saya segera membaca Al-
Fatihah, lalu mengusapkan telapak tangan ke bagian-bagian tubuh yang sakit.
Seakan-akan dari bagian yang sakit itu ada kerikil yang jatuh. Pengalaman
seperti ini tidak terjadi hanya sekali saja, tapi beberapa kali. Pernah juga
saya mengambil air Zamzam lalu membacakan Al-Fatihah pada air itu dan
saya meminumnya. Hasilnya, saya merasa mendapat kekuatan baru yang
tidak pernah kurasakan yang seperti itu. Tentu saja semua ini harus didasari
kekuatan iman dan keyakinan yang benar.
Al-Fatihah Mencakup Bantahan terhadap Semua Golongan Yang
Batil, Bid'ah dan Sesat
Hal ini dapat dilakukan dengan dua cara: Global dan terinci. Secara
global dapat diketahui bahwa ash-shirathul-mustaqim mencakup penge-
tahuan tentang kebenaran, memprioritaskan kebenaran daripada yang lain,
mencintai, menyeru dan memerangi musuh-musuh kebenaran me-nurut
kesanggupan. Kebenaran di sini adalah apa yang dibawa RasuluUah
Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para shahabat, seperti ilmu dan amal
tentang sifat Allah, asma', perintah, larangan, janji, ancaman dan haki-kat-
hakikat iman, yang semuanya merapakan etape orang-orang yang berjalan
kepada Allah. Semua masalah ini diserahkan kepada beliau dan bukan
kepada pendapat dan pemikiran manusia. Jadi tidak dapat diragu-kan
bahwa ilmu dan amal yang ada pada diri RasuluUah Shallallahu Alaihi wa
Sallam dan para shahabat adalah pengetahuan tentang kebenaran, yang
haras diprioritaskan daripada yang lain. Inilah yang disebut ash-shirathul-
mustaqim. Dengan cara yang global ini dapat diketahui bahwa siapa pun
yang bertentangan dengan jalan ini adalah batil, atau merapa-kan satu
jalan dari dua jenis golongan: Golongan yang mendapat murka dan
golongan yang sesat.
Adapun dengan cara yang rinci, maka kita perlu mengetahui satu
persatu setiap madzhab yang batil. Namun yang pasti, setiap kalimat Al-
Fatihah mencakup penjelasan tentang kebatilannya.
Manusia secara umum dapat dibagi menjadi dua macam: Golongan
yang mengakui kebenaran dan golongan yang mengingkari kebenaran.
Sementara Al-Fatihah mencakup penetapan adanya Khaliq dan penolak-an
orang yang mengingkari keberadaan-Nya, yaitu dengan penetapan
Rububiyah-Nya atas semesta alam. Perhatikanlah semua benda alam, baik
alam atas maupun alam bawah, tentu engkau akan melihat bukti ke-
beradaan Sang Pencipta. Keberadaan Allah ini lebih nyata bagi akal dan
fitrah daripada keberadaan sungai yang mengalir. Siapa yang tidak mem-
punyai pandangan seperti ini dalam akal dan fitrahnya, berarti harus
dipertanyakan, adakah sesuatu yang tidak beres pada akalnya?
Seiring dengan kebatilan orang-orang yang mengingkari keberadaan
Allah, batil pula pendapat orang-orang yang mengatakan tentang
wahdatul-wujud (kesatuan wujud), bahwa wujud alam ini juga merupa-kan
wujud Allah dan Allah merapakan hakikat wujud alam ini. Jadi menu-rut
mereka tidak ada lagi istilah Rabb dan hamba, penguasa dan yang
dikuasai, pengasih dan yang dikasihi, pemberi pertolongan dan yang me-
minta pertolongan, pemberi petunjuk dan yang diberi petunjuk, pemberi
nikmat dan yang diberi nikmat, sebab Allah adalah hamba itu sendiri,
yang disembah adalah yang menyembah itu sendiri. Perbedaan wujud
hanya sekedar masalah relatifitas yang bergantung kepada fenomena dzat
dan penampakannya, sehingga terkadang bisa berwujud seorang hamba
biasa, terkadang berwujud Fir'aun, pemberi petunjuk, nabi, rasul, ulama
dan lain sebagainya. Sekalipun berbeda-beda, semua berasal dari satu inti,
bahkan Allah adalah inti itu sendiri.
Surat Al-Fatihah, semenjak pertama hingga akhirnya menjelaskan
kebatilan dan kesesatan golongan ini.
Orang-orang yang menetapkan adanya Khaliq ada dua macam:
1. Golongan yang mengesakan Khaliq atau ahli tauhid.
2. Golongan yang menyekutukan Khaliq atau ahli syirik.
Ahli syirik ada dua macam:
1. Orang-orang yang menyekutukan Rububiyah dan Uluhiyah-Nya, se-
perti orang-orang Majusi dan yang serupa dengan mereka dari golongan
Qadariyah. Mereka menetapkan adanya pencipta Allah yang menyertai
Allah, sekalipun mereka tidak mengatakan adanya kesetaraan di antara
keduanya. Golongan Qadariyah Majusi menetapkan adanya para
pencipta perbuatan di samping Allah. Perbuatan ini di luar ke-hendak
Allah dan Allah tidak mempunyai kekuasaan terhadapnya, tapi para
pencipta selain-Nya itulah yang menjadikan diri mereka bisa berbuat
dan berkehendak. Di dalam lyyaka na'budu terkandung sanggahan
terhadap pendapat mereka. Sebab pertolongan yang mereka mohonkan
kepada-Nya berarti mengharapkan sesuatu yang ada di Ta-ngan Allah
dan ada dalam kekuasaan serta kehendak-Nya. Lalu bagaimana mungkin
orang yang katanya mampu berbuat, tapi dia masih meminta
pertolongan?
2. Orang-orang yang menyekutukan Uluhiyah-Nya. Mereka mengatakan
bahwa hanya AUah penguasa dan pencipta segala sesuatu, bahwa Allah
adalah Rabb mereka dan bapak-bapak mereka semenjak dahulu. Tetapi
sekalipun begitu mereka masih menyembah selain-Nya, mencintai dan
mengagungkannya. Mereka menciptakan tandingan bagi Allah. Mereka
tidak menetapi hak iyyaka na'budu. Sekalipun memang mereka na'buduka
(kami menyembah- Mu), tapi mereka tidak murni dalam iyyaka na'budu,
yang mengandung pengertian: Kami tidak menyembah kecuali Engkau
semata, dengan penuh kecintaan, harapan, ketakutan, ketaatan dan
pengagungan. lyyaka na'budu merupakan penge-jawantahan dari tauhid
dan peniadaan syirik dalam Uluhiyah, seba-gaimana iyyaka nasta'in
merupakan pengejawantahan dalam tauhid Rububiyah dan peniadaan
syirik dalam Rububiyah.
Surat Al-Fatihah juga mengandung sanggahan terhadap pendapat
berbagai golongan yang menyimpang dan sesat, seperti:
1. Al-Jahmiyah yang meniadakan sifat-sifat Allah.
2. Al-Jabariyah yang meniadakan pilihan dan kehendak bagi manusia,
yang segala sesuatu pada diri manusia berdasarkan kehendak Allah.
3. Golongan yang menetapkan perbuatan Allah pada hal-hal yang pasti dan
Dia tidak mempunyai pilihan serta kehendak.
4. Golongan orang-orang yang mengingkari keterkaitan iknu-Nya dengan
hal-hal parsial.
5. Golongan orang-orang yang mengingkari nubuwah.
6. Golongan yang mengatakan tentang keberadaan alam semenjak dahulu
kala.
7. Ar-Rafidhah yang menganggap hanya keturunan Rasulullah yang benar,
sedangkan selain mereka tidak benar dan tidak akan masuk surga,
sekalipun itu semacam shahabat Abu Bakar.
Cakupan lyyaka Na'budu wa lyyaka Nasta'in terhadap
Makna-makna Al-Qur'an, Ibadah dan Isti'anah
Rahasia penciptaan, perintah, kitab-kitab, syariat, pahala dan siksa
terpusat pada dua penggal kalimat ini, yang sekaligus merupakan inti
ubudiyah dan tauhid. Sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa Allah
menurunkan seratus empat kitab, yang makna-maknanya terhimpun da-
lam Taurat, Injil dan Al-Qur'an. Makna-makna tiga kitab ini terhimpun di
dalam Al-Qur'an. Makna-makna Al-Qur'an terhimpun dalam surat-surat
yang pendek. Makna-makna dalam surat-surat yang pendek terhimpun
dalam surat Al-Fatihah. Makna-makna Al-Fatihah terhimpun di dalam
iyyaka na'budu wa iyya-ka nasta'in. Dua kalimat ini dibagi antara miUk
Allah dan milik hamba-Nya. Separoh bagi Allah, yaitu iyyaka na'budu,
dan separoh lagi bagi hamba-Nya, yaitu iyyaka nasta'in.
Ibadah mengandung dua dasar: Cinta dan penyembahan. Menyem-
bah di sini artinya, merendahkan diri dan tunduk. Siapa yang mengaku
cinta namun tidak tunduk, berarti bukan orang yang menyembah. Siapa
yang tunduk namun tidak cinta, juga bukan orang yang menyembah. Dia
disebut orang yang menyembah jika cinta dan tunduk. Karena itu orang-
orang yang mengingkari cinta hamba terhadap Allah adalah orang-orang
yang mengingkari hakikat ubudiyah dan sekaligus mengingkari
keberadaan AUah sebagai Dzat yang mereka cinta, yang berarti mereka
juga mengingkari keberadaan Allah sebagai Ilah (sesembahan), sekalipun
mereka mengakui Allah sebagai penguasa semesta alam dan pencipta-nya.
Inilah tauhid mereka yang terbatas pada tauhid Rububiyah, seperti
pengakuan bangsa Arab, tapi mereka tidak keluar dari syirik, sebagaimana
firman Allah,
"Dan, sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, 'Siapakah yang
menciptakan langit dan bumi?' niscaya mereka menjawab, 'Allah'."
(Az-Zumar; 38).
Isti'anah (memohon pertolongan) menghimpun dua dasar: Keper-
cayaan terhadap Allah dan penyandaran kepada-Nya. Adakalanya seorang
hamba menaruh kepercayaan terhadap seseorang, tapi dia tidak menyan-
darkan semua urusan kepadanya, karena dia merasa tidak membutuhkan
dirinya. Atau adakalanya seseorang menyandarkan berbagai urusan kepada
seseorang, padahal sebenarnya dia tidak percaya kepadanya, karena dia
merasa membutuhkannya dan tidak ada orang lain yang memenuhi
kebutuhannya. Karena itu dia bersandar kepadanya.
Tawakal merapakan makna yang juga cocok dengan dua dasar ini,
kepercayaan dan penyandaran, yang sekaligus merapakan hakikat iyyaka
na'budu wa iyyaka nasta'in. Dua dasar ini, tawakal dan ibadah disebut-kan
di beberapa tempat dalam Al-Qur'an, yang keduanya disebutkan secara
beraratan, di antaranya,
AjIc, ^jJj oAJC-li aS jlaV ^°^. ^\j O^'ji'^J i^ljl-*JJ^I 4-4^ >^J
"Dan, kepunyaan Allahlah apa yang gaib di langit dan di bumi dan ke-
pada-Nyalah dikembalikan semua urusan, maka sembahlah Dia dan
bertawakallah kepada-Nya. " {Hud: 123).
"Ibadah" didahulukan daripada "Isti'anah" di dalam Al-Fatihah me-
rapakan gambaran didahulukannya tujuan daripada sarana. Hal ini bisa
dilihat dari beberapa sebab:
1. "Ibadah" merapakan tujuan penciptaan hamba, sedangkan "Isti'anah"
merapakan sarana untuk dapat melaksanakan "Ibadah" itu.
2. Iyyaka na'budu berkaitan dengan Uluhiyah-Nya dan asma "Allah".
Sedangkan iyyaka nasta'in berkaitan dengan Rububiyah-Nya dan asma
"Ar-Rabb". Karena itu iyyaka na'budu didahulukan daripada iyyaka nas-
ta'in, sebagaimana asma Allah yang didahulukan daripada asma Ar-
Rabb di awal Al-Fatihah.
3. Iyyaka na'budu merapakan bagian AUah dan juga merapakan pujian
terhadap Allah, karena memang Dia layak menerimanya, sedangkan
iyyaka nasta'in merapakan bagian hamba, begitu pula ihdinash-shirath-al-
mustaqim hingga akhir surat.
4. "Ibadah" secara total mencakup "Isti'anah" dan tidak bisa dibalik. Se-tiap
orang yang beribadah kepada Allah dengan ibadah yang sempurna
adalah orang yang memohon pertolongan kepada-Nya, dan tidak bisa
dibalik. Sebab orang yang dikuasai berbagai macam tujuan pribadi dan
syahwatnya, juga bisa memohon pertolongan kepada-Nya, hanya karena
ingin memuaskan nafsunya. Karena itu ibadah harus lebih sempurna.
Berarti "Isti'anah" merapakan bagian dari "Ibadah" dan tidak bisa
dibalik, sebab "Isti'anah" merapakan permohonan dari-Nya, sedang
"Ibadah" merapakan permohonan bagi-Nya.
5. "Ibadah" hanya dilakukan orang yang ikhlas, sedangkan "Isti'anah" hisa
dilakukan orang yang ikhlas dan yang tidak ikhlas.
6. "Ibadah" merapakan hak Allah yang diwajibkan kepada hamba, se-
dangkan "Isti'anah" merapakan permohonan pertolongan untuk dapat
melaksanakan "Ibadah".
7. "Ibadah" merapakan gambaran syukur terhadap nikmat yang dilim-
pahkan kepadamu, dan Allah suka untuk disyukuri. Pemberian perto-
longan merupakan taufik Allah yang diberikan kepadamu. Jika engkau
komitmen dalam beribadah kepada-Nya dan ibadahmu lebih sempurna,
maka pertolongan Allah yang diberikan kepadamu juga lebih besar.
8. lyyaka na'budu merapakan hak Allah dan iyyaka nasta'in merupakan
kewajiban Allah. Hak-Nya haras didahulukan daripada kewajiban-Nya.
Sebab hak Allah berkaitan dengan cinta dan ridha-Nya, sedangkan
kewajiban-Nya berkaitan dengan kehendak-Nya. Apa yang bergantung
kepada cinta-Nya haras lebih sempurna daripada apa yang bergantung
kepada kehendak-Nya. Semua yang ada di alam, para malaikat maupun
syetan, orang-orang Mukmin maupun orang-orang kafir, orang yang
taat maupun orang yang durhaka, semuanya bergantung kepada
kehendak-Nya. Apa yang bergantung kepada cinta-Nya adalah ketaatan
dan iman mereka. Orang-orang kafir ada dalam kehendak-Nya dan
orang-orang Mukmin ada dalam cinta-Nya.
Dari beberapa rahasia ini dapat diketahui secara jelas hikmah dida-
hulukannya iyyaka na'budu daripada iyyaka nasta'in.
Pembagian Manusia Berdasarkan Kandungan lyyaka
Na'budu wa lyyaka Nasta'in
Jika engkau sudah mengetahui secara jelas masalah ini, maka ber-
dasarkan dua dasar (Ibadah dan isti'anah) manusia bisa dibagi menjadi
empat golongan:
1. Ahli ibadah dan isti'anah kepada Allah. Mereka merapakan golongan
yang paling mulia dan paling tinggi. Ibadah kepada Allah merupakan
tujuan mereka, dan mereka pun memohon agar Allah menolong dan
memberikan taufik, sehingga mereka dapat melaksanakan ibadah itu.
Karena itu permohonan paling utama yang disampaikan kepada Allah
ialah pertolongan menurut keridhaan-Nya, seperti yang diajarkan Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada orang yang beliau cintai, Mu'adz
bin Jabal Radhiyallahu Anhu. Beliau bersabda, "Wahai Mu'adz, demi
Allah, aku benar-benar mencintaimu. Maka janganlah engkau lalai
untuk mengucapkan seusai setiap shalat, 'Ya Allah, tolonglah aku untuk
menyebut nama-Mu, bersyukur dan beribadah secara baik kepada-
Mu'."
2. Orang-orang yang tidak mau beribadah dan tidak mau memohon per-
tolongan kepada-Nya. Mereka tidak mengenal ibadah dan isti'anah. Ini
kebalikan dari golongan yang pertama. Bahkan jika salah seorang di
antara mereka memohon kepada-Nya, maka hal itu dimaksudkan untuk
memuaskan nafsunya, bukan berdasarkan keridhaan dan hak-Nya.
Semua yang ada di langit dan di bumi memohon kepada-Nya. Bahkan
makhluk yang paling dibenci Allah dan musuh-Nya, Iblis, ma-sih sempat
memohon kepada Allah dan Allah pun memenuhinya. Tapi karena apa
yang dimohon itu bukan untuk mendapatkan keridhaan-Nya, maka ia
semakin menambah penderitaan, kesengsaraan dan dia semakin jauh
dari Allah. Begitulah keadaan setiap orang yang memohon pertolongan
kepada Allah, namun tidak dimaksudkan untuk menambah ketaatan
kepada-Nya, sehingga dia menjadi budak dari apa yang dimintanya.
Hendaklah diketahui, bahwa kalaupun Allah memenuhi permintaan
orang yang meminta kepada-Nya, bukan karena ada kemuhaan pada
diri orang yang meminta itu. Hamba meminta kepada-Nya dan Allah
memenuhinya, padahal permintaannya itu boleh jadi menjadi sumber
kehancuran dan penderitaannya, sehingga pemenuhan Allah ini justru
menjadi kehinaan baginya. Sebaliknya, tidak adanya pemenuhan Allah
atas permintaan hamba justru merupakan kemuliaan dan gambaran
cinta Allah kepadanya, perlindungan dan penjagaan Allah baginya dan
bukan merupakan gambaran kekikiran Allah. Tapi orang yang bodoh
akan mengira bahwa Allah tidak mencintai dan tidak pula
memuliakannya, sehingga dia berburuk sangka terhadap AUah. Pem-
berian dan pencegahan Allah merupakan ujian. Firman-Nya,
La I J ;;j-ajSl ^__^J Jj^ A^ajUj A^ajSU Ajj o!iljjl iJa 1 3] ^IjoiJ^I L«U
"^ cjjjIa! ^Jij cij^ ''^°jj ^^ J-^ ^^' ^ '^i
"Adapun manusia, apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya
dan diberikan-Nya kesenangan, maka dia berkata, 'Rabbku telah memu-
liakanku'. Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezkinya,
maka dia berkata, Rabbku menghinakanku'. Sekali-kali tidak
(demikian)." (Al-F&ir: 15-16).
Allah menyanggah dugaan orang, bahwa keluasan rezkiyang diUmpah-
kan-Nya merupakan kemuliaan dari-Nya, sedangkan kemiskinan
merupakan kehinaan dari-Nya, dengan befirman, "Aku tidak menguji
hamba-Ku dengan kekayaan karena dia mulia di Mata-Ku. Aku tidak
mengujinya dengan kemiskinan karena dia hina di Mata-Ku." Dia mem-
beritahukan bahwa kemuliaan dan kehinaan tidak berkisar pada ke-
luasan harta dan pembatasannya. Toh Allah menghamparkan harta
seluas-luasnya kepada orang kafir, bukan karena dia mulia, dan mem-
batasi harta pada orang Mukmin, bukan karena dia hina. Segala puji
bagi AUah atas semua ini, dan Dia Mahakaya lagi Maha Terpuji. Jadi
kebahagiaan dunia dan akhirat tetap kembali kepada iyyaka na'budu
wa iyyaka nasta 'in.
3. Golongan orang yang memiliki sebagian ibadah tanpa menghendaki
isti'anah. Mereka ada dua kelompok: Pertama, golongan Qadariyah
yang berpendapat bahwa Allah telah melakukan apa yang ditetapkan-
Nya pada hamba dan Dia tidak perlu lagi memberikan pertolongan
kepada hamba, karena Allah telah menolongnya dengan mencipta-kan
alat baginya, memperkenalkan jalan dan mengutus para rasul. Sehingga
setelah adanya pertolongan ini, hamba tidak perlu lagi memo-hon kepada-
Nya. Kedua, golongan yang beribadah namun tidak total dalam tawakal
dan memohon pertolongan kepada-Nya. Pandangan mereka tidak
mengaitkan orang yang bergerak kepada siapa yang meng-gerakkan, tidak
mengaitkan sebab kepada pembuat sebab, tidak mengaitkan alat kepada
pelaku.
4. Golongan yang mempersaksikan bahwa hanya AUahlah satu-satunya
yang memberikan manfaat dan mudharat. Apa pun yang dikehendaki-
Nya pasti akan terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan
terjadi, namun mereka tidak berbuat apa yang dicintai dan diridhai-
Nya.
Seorang hamba tidak bisa mewujudkan iyyaka na'budu kecuali de-
ngan dua dasar: Mengikuti RasuluUah dan ikhlas terhadap AUah yang di-
sembah. Ditilik dari dua dasar ini, maka manusia bisa dibagi menjadi
empat golongan:
1. Orang-orang yang ikhlas karena Allah dan mengikuti Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam. Merekalah yang benar-benar menghayati iyyaka
na'budu. Semua perkataan dan perbuatan mereka karena Allah, mem-
beri karena Allah, menahan karena Allah, mencintai karena Allah,
membenci karena Allah. Mu'amalah mereka secara lahir dan batin karena
mengharap Wajah Allah semata, tidak dimaksudkan untuk mencari
imbalan, pujian, pengaruh, kedudukan dan simpati di hati manusia atau
pun menghindari celaan manusia. Bahkan mereka mengang-gap semua
manusia tak ubahnya mayat yang sudah mati, tidak bisa memberi
manfaat dan mudharat. Perbuatan yang dimaksudkan untuk
mendapatkan kedudukan, mengatur manfaat dan mudharat, sama sekali
tidak mereka kenal.
Maka Al-Fadhl bin lyadh pernah berkata, "Amal yang baik ialah yang
paling ikhlas dan paling benar." Orang-orang bertanya, "Wahai Abu Ah,
apa yang dimaksudkan paling ikhlas dan paling benar itu?"
Dia menjawab, "Jika amal itu ikhlas namun tidak benar, maka ia tidak
diterima. Jika amal itu benar namun tidak ikhlas, maka ia tidak diteri-ma
pula, hingga ia ikhlas dan benar. Ikhlas artinya karena Allah. Benar
artinya berdasarkan As-Sunnah. Inilah yang dimaksudkan dalam firman
Allah,
"Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah
ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan
seorangpun dalam beribadah kepada Rabbnya. " (Al-Kahfi: 1 10).
2. Orang yang tidak ikhlas dan tidak mengikuti As-Sunnah. Amalnya tidak
sejalan dengan syariat dan tidak pula ikhlas terhadap Allah yang di-
sembah, seperti perbuatan orang-orang yang ingin pamer di hadapan
manusia. Mereka adalah orang-orang yang paling buruk dan paling
dibenci Allah. Mereka inilah yang digambarkan dalam firman Allah,
"Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gem-
bira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya
dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan, janganlah
kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka
siksa yang pedih. " (Ali Imran: 188).
3. Ikhlas dalam amalnya namun tidak mengikuti perintah dan As-Sunnah,
seperti yang dilakukan para ahli ibadah yang bodoh, mereka yang
cenderung kepada zuhud dan hidup miskin, orang-orang yang ber-
ibadah kepada AUah dengan cara yang tidak sesuai dengan perintah-
Nya.
4. Amalnya sesuai dengan perintah dan As-Sunnah, tetapi untuk tujuan
selain AUah, seperti orang yang berjihad karena riya' dan memamer-kan
patriotismenya, menunaikan haji agar dia dipuji atau membaca Al-
Qur'an agar disanjung. Amal mereka secara zhahir sesuai dengan
perintah, tetapi tidak shalih.
Orang-orang yang mengamalkan iyyaka na'budu secara konsisten
memiliki sisi pandang yang berbeda tentang ibadah yang pahng utama,
paling bermanfaat, paling layak untuk diprioritaskan. Dalam hal ini me-
reka ada empat pendapat:
1. Orang-orang yang menganggap ibadah yang paling baik dan utama
adalah yang paling sulit dan berat, karena ibadah semacam ini adalah
yang paling jauh dari hawa nafsu. Sementara menurut mereka, pahala
juga diukur dari kadar kesuUtan ibadah. Mereka berpendapat kepada
hadits yang sama sekali tidak ada dasarnya, "Amal yang paling utama
adalah yang paling sulit atau berat."
Mereka adalah orang-orang yang memang raj in beribadah, namun
bertindak semena-mena terhadap diri sendiri. Orang-orang yang
menganggap ibadah paling utama adalah zuhud di dunia, meminimkan
andil dalam keduniaan dan tidak peduli terhadap kehidupan dunia.
2. Orang-orang yang menganggap ibadah paling utama adalah yang man-
faatnya merambah secara luas. Menurut mereka, menyantuni orang-
orang miskin, memenuhi kebutuhan orang banyak, membantu mereka
dengan tenaga dan harta adalah ibadah yang paling utama. Mereka
beralasan bahwa amal ahli ibadah hanya bagi dirinya sendiri, sedangkan
amal orang yang bisa memberi manfaat kepada orang lain bisa
dirasakan orang banyak, karena itu kelebihan orang yang berilmu atas ahli
ibadah seperti kelebihan rembulan atas seluruh bintang-gemin-tang.
Mereka juga berhuj jah dengan hadits-hadits tentang pahala yang
diberikan kepada pelaku kebaikan dan dia juga mendapatkan pahala
orang-orang yang mengikuti kebaikan yang dilakukannya itu.
3. Orang-orang yang menganggap ibadah paling utama adalah amal yang
dilakukan untuk mendapatkan ridha Allah, sesuai dengan timingnya dan
tugas yang memang harus dilaksanakannya. Ibadah yang paling utama
pada waktu jihad adalah berjihad, sekaUpun harus meninggal-kan shalat
malam dan puasa, bahkan sekalipun dia harus meninggal-kan shalat
fardhu karena kondisi perang. Ibadah yang paling utama sewaktu ada
tamu yang datang ialah memenuhi hak-hak tamu. Ibadah yang paling
utama pada waktu sahur adalah mengerjakan shalat, mem-baca Al-Qur'an,
berdoa dan berdzikir. Begitu pula setiap ibadah yang disesuaikan dengan
situasi dan kondisinya, maka itulah ibadah yang paling utama.
4. Golongan yang keempat ini adalah ahU ibadah yang tak mengenal
batasan, sedangkan tiga golongan lain sebelumnya adalah ahli ibadah
yang terbatas. Jika salah seorang di antara tiga golongan ini keluar dari
jenis ibadah yang menjadi andalannya, maka dia menganggap ada yang
kurang dalam ibadahnya itu atau dia telah meninggalkan ibadahnya sama
sekaU, karena dia beribadah kepada Allah dengan satu pola. Sementara
orang yang ibadahnya tidak mengenal batasan, tidak mementingkan satu
ibadah daripada yang lain. Tujuan yang diraihnya adalah keridhaan AUah,
di mana dan kapan pun dia berada. Dia selalu berpindah-pindah di ber-
bagai tempat ibadah. Jika engkau melihat para ulama, maka dia tampak
bersama mereka. Jika engkau melihat para ahli ibadah, dia tampak bersa-
ma mereka. Jika engkau melihat para mujahidin, dia tampak terlihat bersa-
ma mereka. Jika engkau melihat orang-orang yang mengeluarkan sha-
daqah, dia tampak bersama mereka. Inilah hamba yang tidak terikat dan
tidak memiliki gambar tertentu. Dialah orang yang mewujudkan makna
iyyaka na 'budu wa iyyaka nasta 'in secara konsekuen.
Bangunan Iyyaka Na'budu dan Keharusan Ibadah Hingga
Akhir Hayat
Iyyaka na'budu didasarkan kepada empat kaidah, yaitu mewujudkan
apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, berupa perkataan hati dan lisan,
amal hati dan anggota badan. Ubudiyah merupakan nama yang meliputi
empat tingkatan ini.
Perkataan hati merapakan keyakinan terhadap apa yang dikabarkan
Allah, tentang Diri-Nya, sifat, asma' dan perbuatan-Nya, para malaikat,
perjumpaan dengan-Nya, yang disampaikan para rasul-Nya. Perkataan
lisan adalah pengabaran tentang keyakinan ini. Amal hati ialah seperti
cinta kepada Allah, tawakal, tunduk, takut dan berharap kepada-Nya serta
hal-hal lain yang merupakan gerak hati. Sedangkan amal anggota tubuh
seperti shalat, jihad, melangkah ke masjid untuk shalat Jum'at dan
jama'ah, membantu orang miskin, berbuat baik kepada sesama manusia
dan lain sebagainya.
Sementara itu, keharusan melaksanakan iyyaka na'budu berlaku
hingga akhir hayat. Allah befirman,
^jjllll '^^"V. C5^ '^J -^'j
"Dan, sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini
(ajal)." (Al-Hijr. 99).
Di dalam Ash-Shahih juga disebutkan tentang kisah kematian Uts-man
bin Mazh'un, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Telah datang
kepada Utsman ajal dari Rabb-nya. "
Hamba tidak terbebas dari ibadah selagi dia berada di dunia. Bah-
kan di alam Barzakh pun dia tetap memiliki bentuk ibadah tersendiri tat-
kala dua malaikat bertanya kepadanya, "Siapakah yang disembah dan
apakah yang dia katakan tentang RasuluUah?" Maka kedua malaikat
menunggu jawaban yang akan keluar dari hamba itu. Bahkan pada hari
kiamat pun masih ada ibadah yang dilakukan, yaitu saat Allah menyeru
semua makhluk untuk sujud. Maka orang-orang Mukmin sujud, sedangkan
orang-orang kafir dan munafik tidak bisa sujud. Jika sudah masuk surga
atau neraka, maka tidak ada lagi kewajiban, selain dari tasbih yang
dilakukan para penghuni surga.
Siapa yang berpendapat bahwa dia sudah mencapai suaru tingkatan
yang membuatnya terbebas dari ibadah adalah orang zindiq yang kafir
kepada Allah dan Rasul-Nya.' Padahal orang yang mencapai sekian ba-nyak
' Mereka adalah orang-orang sufi, yang menganggap sesembahannya adalah hakikat
alam yang pertama dan inti yang menjadi sumber kejadian segala sesuatu. Para rasul
menurut pendapat mereka adalah orang-orang yang tidak mengetahui hakikat ini. Karena
itu para rasul tetap bcribadah kepada Allah dan mengajak manusia untuk beribadah,
mengikuti syariat dan hukum-hukum-Nya. Sedangkan orang sufi yang sudah mencapai
tingkatan ma'rifat adalah yang mengetahui hakikat ini dan juga mengetahui bahwa hamba
adalah sesembahan, karena di dalam dirinya ada inti kejadian. Mereka menafsiri "Yang
diyakini" (dalam surat Al-Hijr: 99) seperti anggapan mereka ini. Dengan pengertian,
sembahlah AUah hingga engkau mencapai hakikat ini. Jika engkau sudah mencapai
tingkatan ma'rifat, maka tiada lagi kewajiban atas dirimu, tidak ada batasan wajib dan
haram. Di antara propagandis pendapat ini adalah Ibnu Araby.
tingkatan ibadah, justru ibadahnya semakin besar dan kewajibannya lebih
banyak daripada yang lain, seperti kewajiban para rasul yang lebih banyak
dan lebih berat.
Tingkatan-tingkatan lyyaka Na'budu dan Penopang
Ubudiyah
Ditilik dari ilmu dan amal, ubudiyah itu mempunyai beberapa ting-
katan. Ubudiyah dari sisi ilmu ada dua tingkatan: Ilmu tentang Allah dan
ilmu tentang agama-Nya. Ilmu tentang Allah ada lima macam: Ilmu tentang
Dzat, sifat, perbuatan, asma' Allah dan membebaskan-Nya dari hal-hal yang
tidak sesuai dengan-Nya. Ilmu tentang agama-Nya ada dua macam: Ilmu
yang berkaitan dengan perintah dan syariat, yang sekaligus merupakan jalan
lurus yang menghantarkan kepada Allah, dan iknu yang berkaitan dengan
pahala serta siksa.
Ubudiyah berkisar pada beberapa penopang. Siapa yang dapat me-
nyempurnakan penopang-penopang ini, maka dia dapat menyempuma-kan
tingkatan-tingkatan ubudiyah di atas. Jelasnya, ubudiyah itu terbagi atas
hati, lisan dan anggota tubuh. Masing-masing dari tiga bagian ini
mempunyai ubudiyah yang bersifat khusus. Sementara hukum-hukum
ubudiyah ada lima macam: Wajib, sunat, haram, makruh dan mubah. Lima
hukum ini berlaku untuk hati, lisan dan anggota tubuh.
Yang wajib bagi hati ada yang sudah disepakati kewajibannya dan ada
yang diperselisihkan. Yang disepakati kewajibannya adalah: Ikhlas,
tawakal, cinta, sabar, pasrah, takut, berharap, pembenaran, niat dalam
ibadah. Yang diharamkan bagi hati adalah: Takabur, riya', ujub, dengki,
lalai dan kemunafikan. Semua ini dapat dihimpun dalam dua perkara:
Kufur dan kedurhakaan. Kufur seperti keragu-raguan, kemunafikan, syirik dan
segala cabangnya. Kedurhakaan ada dua macam, besar dan kecil.
Kedurhakaan yang besar seperti riya', takabur, ujub, membanggakan diri,
putus asa dari rahmat Allah, merasa aman dari tipu daya Allah, merasa
senang melihat penderitaan orang Muslim, suka jika ada kekejian yang
menyebar di tengah orang-orang Muslim, iri terhadap karunia yang
mereka terima, berharap agar karunia itu sirna dari mereka dan hal-hal lain
yang sejenis. Semua ini jauh lebih diharamkan daripada pengharam-an zina
dan minum khamr serta dosa-dosa besar yang zhahir. Semua keburukan ini
muncul karena ketidaktahuan tentang ubudiyah hati dan tidak
memperhatikannya. Tugas iyyaka na'budu dibebankan kepada hati ter-
lebih dahulu sebelum dibebankan kepada anggota tubuh. Jika tugas ini
diabaikan, maka yang muncul adalah kebalikannya.
Dosa-dosa kecil dalam hati seperti menginginkan hal yang haram dan
membayangkannya. Perbedaan tingkat keinginan, tergantung pada
perbedaan tingkat sesuatu yang diinginkan. Keinginan terhadap kufur dan
syirik adalah kufur. Keinginan terhadap bid'ah adalah kefasikan.
Keinginan terhadap dosa besar adalah kedurhakaan. Jika seseorang me-
ninggalkan keinginan ini karena Allah menurut kesanggupannya, maka dia
mendapat pahala.
Sedangkan ubudiyah lisan ada lima macam: Yang wajib adalah
mengucapkan syahadatain, membaca apa yang haras dibaca dari isi Al-
Qur'an, seperti yang menjaga keabsahan shalat, mengucapkan dzikir-
dzikir yang wajib dalam shalat seperti yang diperintahkan Allah dan Ra-
sul-Nya, membalas ucapan salam, menyuruh kepada yang ma'raf dan
mencegah dari yang mungkar, mengajari orang yang bodoh, menunjuki
orang yang sesat, memberikan kesaksian yang dibutuhkan, berkata jujur
dan lain-lainnya. Sedangkan yang sunat bagi lisan adalah membaca Al-
Qur'an, teras-meneras menyebut asma Allah, menggali iknu yang ber-
manfaat dan lain-lainnya. Sedangkan yang haram bagi lisan ialah meng-
ucapkan perkataan apa pun yang dibenci Allah dan Rasul-Nya, menyam-
paikan bid'ah yang bertentangan dengan ketetapan Allah dan Rasul-Nya,
menyera kepada bid'ah, menuduh dan mencaci orang Muslim, dusta,
memberikan kesaksian palsu dan mengatakan tentang Allah tanpa dida-
sari pengetahuan. Sedangkan yang makruh bagi lisan ialah mengatakan
sesuatu, padahal andaikata hal itu tidak dikatakan, maka akan lebih baik.
Hal ini tidak mengakibatkan siksaan.
Ubudiyah yang haras dilakukan anggota tubuh ada dua puluh Uma,
karena indera ada lima dan masing-masing indera mempunyai lima ke-
wajiban, yang meliputi wajib, sunat, haram, makrah dan mubah.
Persinggahan lyyaka Na'budu di dalam Hati Saat Mengadakan
Perjalanan kepada Allah
Banyak orang yang mensifati persinggahan ini dan menyebutkan
bilangannya. Di antara mereka ada yang menyebutnya seribu, ada pula
yang menyebutnya seratus, ada yang kurang dan ada yang lebih. Masing-
masing orang mensifatinya menurut perjalanan yang dilakukannya.
Berikut ini akan saya sebutkan secara ringkas namun tuntas masing-masing di
antara persinggahan ini.
Yang pertama adalah al-yaqzhah, artinya kegalauan hati setelah
terjaga dari tidur yang lelap. Hal ini sangat penting dan membantu pem-
benahan perilaku. Siapa yang merasakannya, berarti dia telah merasakan
satu keberantungan. Jika tidak, berarti dia tetap dicengkeram kelalaian.
Jika sudah tersadar, dia diberi bekal hasrat untuk memulai perjalanannya
dan menuju persinggahannya yang pertama dan ke tempat dimana dia
ditawan.
Jika perjalanan sudah dimulai, maka hati beralih ke persinggahan al-
azm, yaitu tekad yang bulat untuk melakukan perjalanan, siap meng-
hadapi segala rintangan dan mencari penuntun yang dapat menghantar-
kan ke tujuan. Seberapa jauh seseorang memiliki kesadaran, maka se-jauh
itu pula tekadnya, dan seberapa jauh tekad yang dimilikinya, maka sejauh
itu pula persiapan yang dilakukannya.
Jika sudah terjaga, maka dia memiliki al-fikrah, yaitu pandangan hati
yang hanya tertuju ke sesuatu yang hendak dicari, sekalipun dia belum
memiliki gambaran jalan yang menghantarkannya ke sana. Jika fikrah-nya
sudah benar, tentu dia memiliki al-bashirah, yaitu cahaya di dalam hati
untuk melihat janji dan ancaman, surga dan neraka, apa yang telah
dijanjikan AUah terhadap para waU dan musuh-Nya. Dengan semua ini
seakan-akan dia bisa melihat apa yang terjadi pada hari akhirat, semua
orang dibangkitkan dari kuburnya, para malaikat didatangkan, para nabi,
syuhada dan shalihin dihadirkan, jembatan dibentangkan, musuh-musuh
dikumpulkan, api neraka dikobarkan. Di dalam hatinya seakan ada mata
yang dapat melihat berbagai kejadian akhirat, dan dia juga melihat bagai-
mana keduniaan ini yang begitu cepat berlalu.
Al-Bashirah merupakan cahaya yang disusupkan AUah ke dalam hati,
sehingga seseorang bisa melihat hakikat pengabaran para rasul, seakan-
akan dia bisa mehhatnya dengan mata kepala sendiri. Dengan begitu dia
bisa mengambil manfaat dari seruan para rasul dan melihat adanya bahaya
yang mengancamnya jika dia bertentangan dengan mereka.
Al-Bashirah itu didasarkan pada tiga derajat, siapa yang dapat me-
nyempurnakan tiga derajat ini, berarti dia dapat menyempurnakan bashi-
rah-nya, yaitu: Pertama, bashirah tentang asma' dan sifat. Kedua, bashirah
tentang perintah dan larangan. Ketiga, bashirah tentang janji dan
ancaman.
Bashirah tentang asma' dan sifat- sifat Allah, artinya imanmu tidak
dipengaruhi syubhat yang bertentangan dengan sifat- sifat yang diberikan
Allah kepada Diri-Nya sendiri dan juga yang disifati Rasul-Nya. Sebab
syubhat dalam hal ini sama dengan keragu-raguan tentang wujud Allah.
Tingkatan bashirah yang dimiliki masing-masing manusia berbe-da-
beda, tergantung dari tingkat pengetahuan mereka tentang pengabaran
Nabawy dan pemahamannya serta ilmu tentang syubhat yang bertentangan
dengan hakikat-hakikatnya. Orang yang paling lemah bashirah-nya adalah
para teolog batil yang biasanya suka mencela orang-orang salaf, karena
mereka tidak mengetahui nash dan tidak memahaminya. Syubhat
mengendap di dalam hati mereka. Orang-orang awam yang bukan termasuk
orang-orang Mukmin yang sesungguhnya, justru lebih sempuma daripada
para teolog itu, lebih kuat imannya, lebih mempercayai wahyu dan lebih
tunduk kepada kebenaran.
Bashirah tentang perintah dan larangan artinya membebaskan hati
dari penentangan karena melakukan ta'wil, taqlid atau mengikuti hawa
nafsu, sehingga di dalam hatinya tidak ada syubhat yang bertentangan
dengan ilmu tentang perintah dan larangan Allah, tidak pula dikuasai
nafsu yang menghalanginya untuk melaksanakan perintah dan larangan
itu, tidak pula mengikuti taqlid yang membuatnya merasa tidak perlu
berusaha menggali hukum dari nash.
Bashirah tentang janji dan ancaman artinya engkau mempersaksi-kan
penanganan Allah terhadap apa pun yang dilakukan setiap manusia, yang
baik maupun yang buruk, di dunia maupun di akhirat. Ini merupakan
konsekuensi Ilahiyah dan Rububiyah-Nya, keadilan dan hikmah-Nya.
Keraguan tentang hal ini sama dengan keraguan tentang Uluhiyah dan
rububiyah-Nya, bahkan keraguan tentang wujud-Nya.
Orang yang berada di persinggahan bashirah mempunyai alternatif
jalan lain, yaitu bashirah yang membebaskannya dari kebingungan.
Jika seseorang sudah sadar dan memiliki bashirah, maka dia akan
mengambil maksud dan kehendak yang tulus, menghimpun maksud dan
niat untuk melakukan perjalanan kepada Allah. Setelah tahu dan yakin
tentang hal ini, maka dia mulai melakukan perjalanan, membawa bekal
menuju hari datangnya pembalasan, membebaskan diri dari rintangan
yang menghambat perjalanannya. Maksud bisa dibagi menjadi tiga ting-
katan:
Pertama, maksud yang membangkitkan keteguhan dan membe-
baskan diri dari keragu-raguan.
Kedua, maksud yang karenanya semua rintangan akan disingkirkan
dan semua penghalang akan dihadapi.
Ketiga, maksud yang mendorongnya mencari pengetahuan dan mau
men-dengarkan nasihat dari orang yang lebih bijaksana.
Jika maksud sudah kuat, maka ia berubah menjadi tekad yang bu-lat,
lalu mengharuskannya memulai perjalanan sambil disertai tawakal kepada
Allah. Firman-Nya,
"Kemudian apabila kamu sudah membulatkan tekad, maka
bertawakallah kepada Allah. " (Ali Imran: 159).
Al-Azin artinya maksud yang bulat dan yang mendorong muncul-
nya aksi. Karena itu ada yang menganggap tekad yang bulat ini merupa-kan
peraiulaan aksi untuk mencari maksud dan tujuan. Pada hakikatnya tekad
ini merapakan kekuatan kehendak yang sudah berhimpun untuk
mengadakan aksi.
Tekad ini ada dua macam:
Pertama, tekad orang yang hendak mengayunkan langkah melakukan
perjalanan atau bisa juga disebut permulaan perjalanan.
Kedua, tekad saat berada di dalam perjalanan. Hal ini sifatnya lebih
khusus lagi.
Pada etape ini seseorang perlu membedakan antara apa yang menjadi
haknya dan kewajibannya, agar dia tahu apa yang memang menjadi
bagiannya dan apa yang menjadi kewajibannya, yaitu muhasabah sebelum
taubat. Tetapi pengarang Manazilus-Sa'irin menempatkan taubat sebelum
muhasabah.
Yang perlu diketahui bahwa persinggahan ini jangan disamakan
dengan persinggahan menurut kenyataan, dimana seseorang berada di satu
tempat itu lalu meninggalkannya begitu saja untuk berpindah ke tempat
berikutnya. Tentunya engkau juga tahu bahwa al-yaqzhah (kesa-daran)
haras selalu menyertai dan tidak bisa ditinggalkan, di mana pun
tempatnya, begitu pula al-bashirah, al-iradah, al-aztn maupun at-taubah.
Seperti wajamya taubat yang ada di akhir, maka ia juga haras ada di per-
mulaannya dan bahkan ia harus ada di mana-mana. Memang Allah men-
jadikan taubat ini sebagai bagian akhir dari keadaan hamba-hamba-Nya
yang khusus, seperti RasuluUah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para
shahabat beliau dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Allah befirman
berkaitan dengan perang Tabuk, peperangan terakhir yang mereka laku-
kan, dan sekaligus merapakan perjalanan yang paling berat bagi mereka,
A,g^iic L-ilJ aJ A44<a ^.^ S-'J^ tJJrJ ■^'^ ^ ^ clfe* ojJudxJI A£.Ijuo
"SesungguhnyaAllah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muha-
jirin dan Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati
segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima
taubat mereka itu. " (At-Taubah: 1 17).
Muhasabah dan Pilar-pilarnya
Siapa pun yang mengadakan perjalanan kepada Allah tidak lepas
dari empat persinggahan, yaitu al-yaqzhah, al-bashirah, al-fikrah dan al-
azm. Empat persinggahan ini tak ubahnya pilar bagi suatu bangunan.
Perjalanan tidak akan sampai kepada- Nya kecuaU dengan melewati empat
persinggahan ini, tak ubahnya perjalanan secara nyata yang harus melewati
beberapa etape. Orang yang hanya menetap di kampung halaman-nya, tidak
berpikir untuk mengadakan perjalanan kecuali dia sadar dari kelalaiannya
untuk mengadakan perjalanan. Jika sudah memiliki kesadaran, maka dia
harus mengetahui segala urusan tentang perjalanannya, bahaya, manfaat
dan kemaslahatannya. Kemudian dia berpikir untuk mengadakan
persiapan dan mencari bekal. Kemudian dia harus memiliki tekad yang
bulat. Jika tekad dan maksudnya sudah bulat, maka dia mulai beralih ke
persinggahan muhasabah, atau memilah antara bagiannya dan
kewajibannya. Dia boleh mengambil apa yang menjadi bagiannya dan
harus melaksanakan kewajibannya. Sebab dia akan mengadakan
perjalanan dan tidak akan kembali lagi.
Dari muhasabah dia beralih ke taubah. Sebab jika dia sudah meng-
hisab dirinya, tentu dia akan mengetahui hak yang harus dia penuhi, lalu
keluar untuk memberikan hak itu kepada yang berhak menerimanya.
Inilah hakikat taubat. Tetapi dengan mendahulukan muhasabah akan
menjadi lebih baik. Kalaupun mendahulukannya juga tidak apa-apa, ka-
rena muhasabah tak bisa dilakukan kecuali setelah ada taubat yang sebe-
narnya.
Yang pasti, taubat itu ada di antara dua muhasabah, yaitu muhasabah
sebelum taubat yang hukumnya wajib dan muhasabah sesudah taubat yang
hukumnya harus tetap dijaga. Taubat akan tetap terjaga jika berada di antara
dua muhasabah ini, sebagaimana yang ditunjukkan firman Allah,
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah
setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat)." (M-Rasyr. 18).
Maksud "Memperhatikan" dalam ayat ini ialah memperhatikan ke-
lengkapan persiapan untuk menyongsong hari akhirat, mendahulukan apa
yang bisa menyelamatkannya dari siksa Allah, agar wajahnya menjadi bersih
di sisi Allah. Umar bin Al-Khaththab pemah berkata, "Hisablah diri kalian
sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang
dan berhiaslah kalian untuk menghadapi hari penampakan yang agung."
Menurut Abu Isma'il, pengarang Manalizus-Sa'irin, ada tiga pilar
yang menopang muhasabah, yaitu:
/. Membandingkan antara Nikmat Allah dan Kejahatanmu
Maksudnya, engkau haras membandingkan apa yang berasal dari
Allah dan apa yang berasal dari dirimu. Dengan begitu engkau akan
mengetahui letak ketimpangannya, dan engkau juga akan mengetahui
bahwa di sana hanya ada ampunan dan rahmat Allah di satu sisi, dan di
sisi lain adalah kehancuran dan kerusakan.
Dengan membandingkan seperti ini engkau bisa mengetahui bahwa
Allah adalah Allah dalam pengertian yang sebenarnya, dan hamba adalah
hamba dalam pengertian yang sebenarnya. Engkau juga akan mengetahui
hakikat jiwa dan sifat-sifatnya, keagungan Rububiyah Allah, hanya
AUahlah yang memiliki kesempumaan, setiap nikmat berasal dari-Nya
sebagai karunia, dan siksaan juga berasal dari-Nya yang ditimpakan
secara adil. Jika engkau tidak membuat perbandingan seperti ini, tentu
engkau tidak akan bisa mengetahui hakikat dirimu sendiri dan Rububiyah
Pencipta jiwamu. Jika engkau membuat perbandingan seperti ini, maka
engkau akan tahu bahwa jiwamu adalah sumber segala kejahatan dan
kekurangan. Sedangkan hukum yang dimilikinya adalah kebodohan dan
kezhaliman. Andaikan tidak karena karunia Allah dan rahmat-Nya yang
mensucikan jiwa itu, tentu ia tidak akan menjadi suci sama sekali.
Kemudian engkau juga bisa membandingkan antara kebaikan dan
keburakan. Sehingga dengan membandingkan ini engkau bisa mengetahui
mana yang lebih banyak dan mana yang lebih dominan di antara
keduanya. Perbandingan yang kedua ini merupakan perbandingan antara
perbuatanmu dan apa yang datang dari dirimu secara khusus.
Seseorang tidak bisa membuat perbandingan ini jika dia tidak
memiliki tiga indikator:
1. Cahaya hikmah
2. Burak sangka terhadap did sendiri
3. Membedakan antara nikmat dan ujian.
Cahaya hikmah merapakan cahaya yang disusupkan Allah ke dalam
hati orang-orang yang mengikuti para rasul. Dengan kata lain, cahaya
hikmah adalah iknu yang dimiliki seseorang sehingga dia bisa membe-
dakan antara yang haq dan batil, petunjuk dan kesesatan, mudharat dan
manfaat, yang sempurna dan yang kurang, yang baik dan yang burak.
Dengan cahaya hikmah ini seseorang bisa melihat tingkatanrtingkatan
amal, mana yang harus dipentingkan dan mana yang tidak dipenting-kan,
mana yang haras diterima dan mana yang ditolak. Jika cahaya ini kuat,
maka muhasabah juga akan kuat dan sempurna. Buruk sangka terhadap
diri sendiri amat diperlukan, sebab baik sangka terhadap diri sendiri akan
menghalangi koreksi dan kerancuan, sehingga dia melihat keburukan
sebagai kebaikan, aib sebagai kesempumaan. Membedakan nikmat dari
ujian, artinya membedakan nikmat yang dilihatnya sebagai kebaikan dan
kasih sayang Allah serta yang bisa membawanya kepada kenik-matan
yang abadi, dan membedakannya dengan nikmatyang hanya seke-dar
sebagai tipuan. Sebab berapa banyak orang yang tertipu dengan nik-mat,
sementara dia tidak menyadarinya, tertipu oleh pujian orang-orang bodoh,
terpedaya oleh Umpahan AUah, dan justru kebanyakan manusia termasuk
dalam kelompok yang kedua ini.
Tiga indikator ini merapakan tanda kebahagiaan dan keselamatan.
Jika tiga hal ini dilaksanakan secara sempurna, maka seseorang bisa
mengetahui nikmat Allah yang sebenarnya. Selain itu ada ujian yang
berapa nikmat atau cobaan berapa limpahan pemberian. Maka hendaklah
setiap orang mewaspadai hal ini, sebab dia berada di antara anugerah dan
hujjah, dan banyak orang yang timpang dalam membedakan dua hal ini.
2. Membedakan antara Bagian dan Kewajiban
Haras ada pemilahan antara hak-hak yang haras engkau penuhi,
seperti kewajiban-kewajiban ibadah, ketaatan dan menjauhi kedurhakaan, dan
hak yang menjadi bagianmu. Apa yang menjadi bagianmu adalah mubah
menurat ketetapan syariat, dan apa yang menjadi kewajibanmu haras
engkau penuhi dan engkau haras memberikan hak kepada siapa pun yang
berhak menerimanya.
Banyak orang yang mencampur aduk antara kewajiban dan hak-nya,
sehingga dia sendiri menjadi kebingungan antara mengerjakan dan
meninggalkan. Banyak orang yang sebenarnya dia boleh mengerjakan
sesuatu namun dia justru meninggalkannya, seperti orang yang raj in
beribadah dengan meninggalkan apa yang sebenarnya boleh dia kerja-kan,
seperti meninggalkan hal-hal yang mubah, karena dia mengira bah-wa hal
itu tidak boleh dia kerjakan. Begitu pula sebaliknya, orang yang rajin
beribadah dengan mengerjakan sesuatu yang sebenamya haras dia
tinggalkan, karena dia mengira hal itu merapakan haknya.
Yang pertama seperti orang yang rajin beribadah dengan tidak mau
menikah, tidak mau memakan daging, buah-buah, makanan yang lezat dan
pakaian yang bagus. Karena kebodohannya dia mengira bahwa semua itu
merapakan larangan baginya, sehingga dia haras meninggalkannya, atau dia
berpendapat bahwa dengan meninggalkannya akan membuat ibadahnya
bertambah afdhal. Dalam Ash-Shahih disebutkan pengingkaran Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam terhadap beberapa shahabat yang tidak mau
menikahi wanita, teras-menerus berpuasa dan shalat malam. Yang kedua
seperti orang yang rajin beribadah, namun bid'ah. Dia melihat cara
ibadahnya itu benar, karena begitulah yang banyak dilaku-kan orang.
3. Tidak Ridha terhadap Ketaatan Yang Dilakukan
Engkau haras tahu bahwa setiap ketaatan yang engkau ridhai, akan
menjadi beban dosa bagimu, dan setiap kedurhakaan yang dituduhkan
saudaramu kepadamu, maka terimalah tuduhan itu dan anggaplah bahwa
memang itulah yang benar. Sebab keridhaan seorang hamba terhadap
ketaatan dirinya merapakan bukti baik sangka terhadap diri sendiri dan
kebodohannya terhadap hak-hak ubudiyah serta tidak tahu apa yang
dituntut Allah darinya, lalu akhirnya melahirkan takabur dan ujub, yang
dosanya lebih besar dari dosa-dosa besar yang nyata, seperti zina, minum
khamr, lari dari medan peperangan dan lain-lainnya.
Orang-orang yang memiliki bashirah justru lebih meningkatkan
istighfar setelah mengerjakan berbagai macam ketaatan, karena mereka
menyadari keterbatasannya dalam melaksanakan ketaatan itu dan merasa
belum memenuhi hak-hak Allah sesuai dengan keagungan-Nya. Allah juga
memerintahkan agar RasuluUah Shallallahu Alaihi wa Sallam senantiasa
memohon ampunan dalam setiap kesempatan dan sehabis melaksanakan
tugas-tugas risalah atau setelah melaksanakan suatu ibadah. Dalam surat
terakhir yang diturunkan, Allah juga tetap memerintahkan beliau untuk
memohon ampunan,
bljj ^l2» 4j] oja.ir_iu)lj tibj }^-^^ r^^J^
"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu
lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka
bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-
Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat. " (An-Nashr: 1-3).
Maka Umar bin Al-Khaththab dan Ibnu Abbas memahami turunnya
surat ini sebagai isyarat telah dekatnya ajal behau. Seakan-akan Allah
hendak memberitahukan hal ini kepada beliau, dengan memerintahkan
agar beliau memohon ampunan sehabis mengerjakan setiap tugas. Dengan
kata lain, surat ini semacam pemberitahuan: Engkau telah rampung
mengerjakan kewajibanmu dan tidak ada lagi kewajiban yang menyisa
setelah itu. Maka jadikanlah istighfar sebagai kesudahannya.
Taubat Sebagai Persinggahan Pertama dan Terakhir
Jika seorang hamba sudah berada di persinggahan muhasabah ini
secara benar, maka ada persinggahan lain, yaitu taubat. Dengan muhasabah
dia bisa membedakan mana yang menjadi haknya dan mana yang menjadi
kewajibannya. Maka selanjutnya dia harus tetap membulatkan tekad dan
ambisi dalam melanjutkan perjalanan menuju Allah sampai akhir
hayatnya.
Taubat merapakan awal persinggahan, pertengahan dan akhirnya.
Seorang hamba yang sedang mengadakan perjalanan kepada Allah tidak
pemah lepas dari taubat, sampai ajal menjemputnya. Sekalipun dia ber-alih
ke persinggahan yang lain dan melanjutkan perjalanannya, taubat selalu
menyertainya. Taubat merapakan permulaan langkah hamba dan
kesudahannya. Kebutuhannya terhadap taubat amat penting dan mende-
sak, tak berbeda dengan permulaannya. Allah befirman,
"Dan, bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang
beriman, supaya kalian beruntung. "(An-Nur: 31).
Ayat ini turan di Madinah. Di sini Allah mengarahkan firman-Nya
kepada orang-orang yang beriman dan orang-orang pilihan-Nya, agar mereka
bertaubat, setelah mereka beriman, bersabar, berjihad dan berhijrah. Bahkan
Allah mengaitkan keberuntungan dengan satu sebab, dan juga
menggunakan kata "supaya", yang mengindikasikan pengharapan. Dengan
kata lain, jika kalian bertaubat, maka diharapkan kalian akan berantung.
Sementara tidak ada yang mengharap keberantungan kecuali orang-orang
yang bertaubat. Semoga Allah menjadikan kita semua termasuk golongan
mereka. Di samping itu, Allah juga befirman tentang kebalikan dari
golongan ini,
"Dan, barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-
orang yang zhalim. " (Al-Hujurat: 1 1).
Hamba dibagi menjadi orang yang bertaubat dan yang tidak ber-
taubat atau zhalim. Tidak ada orang ketiga setelah itu. Cap zhalim diberi-kan
kepada orang yang tidak bertaubat dan tidak ada orang yang lebih zhalim
dari dirinya, karena dia tidak tahu AUah dan hak-Nya, tidak tahu aib
dirinya dan kekurangan amalnya.
Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari RasuluUah Shallallahu Alaihi wa
Sallam, beliau bersabda,
"Wahai sekalian manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah Demi
Allah, aku benar-benar bertaubat kepada Allah lebih dari tujuhpuluh kali
dalam sehari. "
Dalam suatu majlis sebelum beliau beranjak pergi, para shahabat
pemah menghitung, beliau mengucapkan sebanyak seratus kali ucapan
berikut,
jjiiJl L_ilj!i]l Clul iiijj (_^ic L_ijj (_^ j^l 4-ij
"Wahai Rabbi, ampunilah dosaku dan terimalah taubatku, karena Eng-
kaulah Maha Penerima taubat lagi Maha Pengampun. "
Karena taubat itu merupakan langkah kembalinya hamba kepada
Allah dan meninggalkan jalan orang-orang yang mendapat murka lagi
sesat, maka dia tidak bisa memperolehnya kecuaU dengan hidayah AUah
agar dia mengikuti ash-shirathul-mustaqim. Sementara hidayah-Nya tidak
bisa diperoleh kecuali dengan memohon pertolongan kepada-Nya dan
mengesakan-Nya. Urutan-urutan semacam ini sudah terangkum secara
baik dan lengkap di dalam Al-Fatihah. Siapa yang memberikan hak kepada
Al-Fatihah sesuai dengan kapasitas ilmu, kesaksian, kondisi dan ma'-
rifahnya, tentu dia akan mengetahui, bahwa pembacaan surat Al-Fatihah
ini belum dianggap sah dalam ibadah kecuali disertai taubat yang sebe-
nar-benarnya (taubatan nashuha). Sebab hidayah yang sempurna untuk
mengikuti ash-shirathul-mustaqim tidak akan diperoleh jika tidak tahu
terhadap dosa yang telah dilakukan, terlebih lagi jika dosa itu terus-mene-
rus dilakukan. Karena itu taubat dianggap tidak sah kecuali setelah menge-
tahui dosa dan mengakuinya, lalu berusaha mencari jalan keselamatan
dari akibat yang akan diterima di kemudian hari.
Ada tiga syarat yang haras dipenuhi dalam taubat, yaitu penyesalan,
meninggalkan dosa yang dilakukan, dan memperlihatkan kelemahan serta
ketidakberdayaan.
Hakikat taubat adalah menyesah dosa-dosa yang telah dilakukan di
masa lampau, membebaskan diri seketika itu pula dari dosa tersebut dan
bertekad untuk tidak mengulanginya lagi di masa mendatang. Tiga syarat
ini harus berkumpul menjadi satu pada saat bertaubat. Pada saat itulah dia
akan kembali kepada ubudiyah, dan inilah yang disebut hakikat taubat.
Menurat Abu Ismail, rahasia hakikat taubat ada tiga macam:
1. Memisahkan ketakutan dari kemuliaan.
2. Melupakan dosa dan kesalahan.
3. Taubat dari taubat.
Memisahkan ketakutan dari kemuliaan, bahwa taubat itu harus
dimaksudkan sebagaiwujud ketakutan kepada Allah, melaksanakanperin-tah
dan menjauhi larangan-Nya, lalu dia melaksanakan ketaatan kepada AUah
berdasarkan cahaya dari Allah dan mengharapkan pahala-Nya. Dia juga
haras meninggalkan kedurhakaan kepada Allah berdasarkan cahaya dari-
Nya, takut terhadap siksa-Nya dan tidak dimaksudkan untuk menda-patkan
kemuliaan. Karena bagaimana pun juga ketaatan itu mempunyai
kemuliaan dalam lahir maupun batin. Siapa yang bertaubat dengan mak-
sud untuk mencari kemuliaan, maka taubatnya itu menjadi sia-sia.
Melupakan dosa dan kesalahan haras dirinci lebih lanjut lagi. Bah-
kan ada perbedaan pendapat dalam masalah ini di kalangan orang-orang
yang meniti jalan kepada AUah. Di antara mereka ada yang berpendapat,
sibuk mengingat dosa adalah perbuatan yang sia-sia. Mempergunakan
waktu bersama Allah jauh lebih bermanfaat bagi orang yang bertaubat.
Maka ada pepatah, "Mengingat masa kemarau di musim penghujan adalah
kemarau." Ada pula yang berpendapat, memang yang lebih tepat ialah tidak
melupakan dosa itu dan dosa itu seakan-akan haras selalu hadir di depan
matanya, sehingga membuat hatinya senantiasa sedih.
Yang benar dalam masalah ini, jika seorang hamba merasakan ada-
nya ujub pada dirinya, melupakan karunia dan tidak merasa membutuhkan
Allah atau tidak mehhat kekurangan dirinya, maka mengingat dosa lebih
bermanfaat baginya. Namun pada saat dia melihat karania Allah yang
dilimpahkan kepadanya, hatinya dipenuhi rasa cinta kepada Allah,
kerinduan untuk bersua dengan-Nya, merasakan kebersamaan dengan-
Nya, melihat keluasan rahmat dan ampunan-Nya, maka melupakan dosa
dan kesalahan lebih bermanfaat baginya. Sebab jika seorang hamba te-rus-
meneras mengingat dosa dan kesalahannya, sementara dia dalam keadaan
yang kedua ini, maka dia akan turun dari tingkatan yang tinggi ke
tingkatan yang rendah, dan ini termasuk tipu daya syetan. Sebab dua
keadaan ini haras dibedakan.
Sedangkan taubat dari taubat, merupakan istilah yang masih ran-cu,
bisa berarti benar dan bisa berarti salah. Taubat termasuk kebaikan yang
paling agung. Taubat dari kebaikan merupakan keburukan yang paling
besar dan kesalahan yang paling burak, bahkan bisa disebut ku-fiir. Sebab
dengan begitu tidak ada bedanya antara taubat dari taubat dan taubat dari
Islam serta iman. Layakkah dikatakan taubat dari iman? Jika seorang
hamba senantiasa beserta Allah, senantiasa mengingat karunia, menyebut
asma' dan sifat-sifat-Nya serta senantiasa menghadap kepada-Nya, namun
dia juga masih mengingat-ingat dosanya yang telah lampau sebagai
perwujudan taubat, maka dia perlu bertaubat dari taubatnya itu.
Kendala-kendala Taubat Orang-orang Yang Bertaubat
Biasanya taubat orang-orang awam disertai dengan keberatan di
dalam hati karena menganggap jenis-jenis ketaatan dan kebaikan yang
haras dilakukan terlalu banyak. Jika dibandingkan dengan kedudukan
orang-orang yang khusus, hal ini akan menimbulkan tiga kerusakan:
1. Kebaikan-kebaikan yang mereka lakukan merapakan keburukan menurut
orang-orang yang khusus. Kebaikan orang awam bisa menjadi
keburukan bagi orang yang mendekatkan diri kepada Allah. Dia perlu
bertaubat dari kebaikan-kebaikan yang dilakukannya, karena dia
melalaikan aib dan kekurangannya, karena menganggap kebaikan-
kebaikan yang dilakukannya itu sudah banyak. Dia mengingkari
nikmat Allah, karena nikmat itu tidak tampak atau ditangguhkan.
Jika engkau menginginkan pemahaman lebih mudah tentang hal ini,
maka perhatikanlah keadaanmu saat membaca Al-Qur'an. Jika engkau
tidak memahami, menelaah dan memikirkannya, menyimak apa yang
dimaksudkan dalam setiap ayat, tidak peduli terhadap seruan yang
seakan ditujukan kepadamu, engkau hanya ingin menamatkan bacaan,
engkau tidak merasakan pengobatannya di dalam hatimu, atau engkau
membacanya secara serampangan, tentu engkau akan merasa bahwa
bacaanmu terlalu banyak. Namun jika engkau menelaah, menyimak
maksud ayat-ayat yang engkau baca, merasa bahwa ayat-ayat itu ditu-
jukan kepadamu, engkau merasakan pengobatannya di dalam hatimu,
maka engkau tidak merasa bahwa engkau telah membaca satu ayat atau
satu surat dan seterusnya. Begitu pula jika engkau memaksakan hatimu
untuk khusyu' saat mengerjakan dua rakaat shalat sunat, maka shalat
berikutnya akan engkau kerjakan dengan berat hati. Tapi jika hatimu
tidak terbebani dengan hal itu, maka berapa pun rakaat yang engkau
kerjakan tidak akan terasa berat. Bertaubat dengan menganggap
ketaatan terlalu banyak tanpa memperhatikan aib dan kekurangannya,
adalah taubatnya orang awam.
2. Orang yang bertaubat merasa mempunyai hak terhadap Allah, agar Dia
memberikan pahala atas kebaikan-kebaikan yang dia kerjakan, dengan
memasukkannya ke surga dan memberinya kenikmatan serta
keridhaan. Akibatnya, pikiran seperti ini jauh lebih banyak dari porsi
kebaikan yang dia lakukan. Sementara amalan orang yang lebih raj in
dari dia pun belum menjamin dirinya masuk surga dan terbebas dari
api neraka. Tak seorang pun yangbisa selamat dari neraka dengan
amal-nya, kecuali setelah dia mendapat ampunan dan rahmat Allah.
3. Merasa tidak membutuhkan ampunan Allah, padahal dalam kenyataan-
nya dia masih membutuhkan ampunan dari kesalahannya dan pahala
dari kebaikan dan ketaatannya. Jika dia menganggap ketaatan yang
dilakukannya sudah banyak, lalu membuatnya merasa tidak membu-
tuhkan ampunan AUah, maka itu benar-benar merupakan kelancangan
terhadap Allah.
Tidak dapat diragukan bahwa hanya sekedar berbuat dengan amal-
amal anggota tubuh tanpa disertai kehadiran hati dan menghadap diri
kepada Allah, maka bisa menimbulkan tiga macam kerusakan ini dan ju-
ga lain-lainnya. Yang demikian ini tidak banyak memberikan manfaat di
dunia maupun di akhirat, seperti amal yang tidak memperhatikan keten-
tuan perintah dan tidak disertai keikhlasan kepada Allah. Sekalipun amal
itu banyak, tapi tidak banyak bermanfaat dan hanya melelahkan. Sesung-
guhnya AUah tidak menetapkan pahala bagi hamba dari shalatnya kecuali
yang dia hayati secara sungguh-sungguh. Begitu pula setiap ibadah yang
mengharuskan adanya kekhusyu'an.
Sedangkan kendala taubatnya orang-orang kelas menengah ialah
menganggap sedikit kedurhakaannya. Tentu saja ini merupakan sikap
yang lancang dan merasa dirinya dalam keadaan terjaga dari kesalahan.
Dengan kata lain, menganggap kedurhakaannya hanya sedikit adalah
perbuatan dosa, sebagaimana menganggap ketaatannya banyak, juga do-
sa. Orang yang arif ialah yang memandang kebaikan-kebaikannya remeh
dan dosa-dosanya besar. Selagi kebaikan-kebaikannya dianggap kecil,
maka ia menjadi besar di sisi Allah. Selagi kebaikan-kebaikan itu terasa
banyak dan besar di dalam hatimu, maka ia menjadi sedikit dan kecil di
sisi Allah. Begitu pula sebaliknya yang berkaitan dengan keburukan. Sia-
pa yang mengetahui hak-hak Allah dan melaksanakan ibadah sesuai de-
ngan keagungan-Nya, maka kebaikan-kebaikannya tampak menjadi kecil,
dan dia merasa tidak bisa selamat dari siksaan-Nya.
Sedangkan kendala taubatnya orang-orang yang khusus adalah
membuang-buang waktu, lalu lama-kelamaan menjurus kepada
kekurangan, memadamkan cahaya pengawasan dan mengeruhkan
kebersamaan dengan Allah. Maksud membuang-buang waktu di sini
bukan berarti menghabiskan waktu dalam kedurhakaan dan canda atau
meninggalkan kewajiban. Sebab andaikan mereka berbuat seperti ini,
berarti mereka bukan termasuk orang-orang yang khusus, tapi orang-orang
awam. Waktu bagi mereka mempunyai pengertian yang spesifik. Bahkan
di antara mereka ada yang menyebut waktu di sini adalah kebenaran. Ada
pula yang mengartikannya kebenaran yang diselami hamba, atau
pengertian-pengertian lain yang serupa. Kendala taubat golongan ini ialah
dengan membuang waktu-waktu khusus dan yang sebaiknya digunakan
bersa-ma Allah dan tidak dikotori debu.
Ada pula kedudukan taubat yang lebih tinggi dan lebih khusus dari
gambaran-gambaran ini, yang tidak diketahui kecuali orang-orang khusus,
yang menganggap perbuatan, perkataan dan tindakannya masih terlalu
sedikit untuk memenuhi hak kekasihnya. Mereka tidak melihat apa yang ada
pada dirinya kecuali dari sisi kekurangannya saja, melihat keadaan
kekasihnya lebih agung, kekuasaannya lebih tinggi dari sekedar meridhai
amalnya. Mereka adalah orang-orang yang paling menghinakan amalnya
sendiri. Jika mereka merasa tidak mampu memenuhi hak kekasihnya,
maka mereka bertaubat seperti taubatnya orang yang melakukan dosa
besar. Jadi taubat tidak pemah mereka tinggalkan. Taubat mereka meru-
pakan satu warna tertentu, sedangkan taubat selain mereka merupakan
wama lain yang berbeda, sehingga tampak jelas perbedaannya.
Taubat tidak dianggap sempurna kecuali dengan membebaskan hati
dari maksud-maksud selain Allah, kemudian mengetahui alasan dari
taubat itu, kemudian bertaubat setelah tahu alasan tersebut. Jika sudah
begitu keadaannya, maka dia akan beribadah kepada Allah semata sesuai
dengan perintah-Nya, tidak menyekutukan-Nya dan memohon pertolong-an
kepada-Nya, sehingga semua yang ada pada dirinya bagi Allah dan
bersama AUah. Yang demikian ini tidak akan terjadi kecuali orang yang
sudah dikuasai rasa cinta, hatinya dipenuhi cinta kepada Allah, diisi peng-
agungan, kepasrahan dan ketundukan kepada-Nya.
Pernik-pernik Hukum Yang Berkaitan dengan Taubat
Di sini perlu saya sebutkan beberapa masalah yang berkaitan dengan
taubat, yang perlu dijabarkan dan tidak boleh diabaikan oleh seseorang. Di
antaranya:
Pertama:
Bertaubat dari dosa wajib dilakukan secara langsung, seketika itu
pula dan tidak boleh ditunda-tunda. Siapa yang menundanya, berarti dia
telah durhaka karena penundaannya itu. Apabila dia bertaubat dari dosa itu,
maka dia harus bertaubat lagi, yaitu dari penundaan taubatnya. Yang seperti
ini jarang disadari orang yang bertaubat. Biasanya, jika dia sudah bertaubat
dari dosa tersebut, maka dia menganggap tidak perlu lagi bertaubat. Padahal
masih ada taubat yang menyisa karena penundaan taubatnya. Tidak ada yang
menyelamatkan hal ini kecuali taubat yang bersifat umum, yaitu taubat dari
dosa-dosa yang diketahui maupun yang tidak
diketahui. Sebab dosa dan kesalahan-kesalahan yang tidak diketahui
hamba justru lebih banyak dari yang diketahuinya. Karena dia tidak me-
ngetahuinya, bukan berarti dia terbebas dari hukuman, kalau memang
sebenarnya memungkinkan baginya untuk mengetahuinya. Dengan begitu
dia telah durhaka karena tidak ingin mengetahui dan tidak ber-amal,
sehingga kedurhakaannya semakin berlipat.
Di dalam Shahih Ibnu Hibban disebutkan bahwa Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda, "Syirik di dalam umatku ini lebih tersembu-
nyi daripada rangkakan semut."
Abu Bakar bertanya, "Wahai RasuluUah, lalu bagaimana cara untuk
menyelamatkan diri darinya?"
Beliau menjawab, "Hendaklah engkau mengucapkan.
"Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari berbuat syirik kepada-
Mu sedang aku tidak mengetahuinya, dan aku memohon ampunan
kepada-Mu dari dosa-dosa yang tidak kuketahui. "
Dalam sebuah hadits dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, dise-
butkan bahwa beliau berdoa dalam shalatnya,
^ Aj ^1 Cjjl Uj ^jJ ^ i^^J^lj Lsk^J C5%^ iJ J^' f^'
jici ^a^l i^^lc- S\'^ (j£j ^O^tj ^Uxkj i^y>>J if^ (^ J^\ ^a^l
^^^ 4j ale I CllJl Laj Clliicl Laj CJjjjuol Laj CJj^l Laj Clba^ La ^
ciijl Vj All V c^j c:il
"Ya Allah, ampunilah bagiku kesalahan dan kebodohanku, berlebih-
le-bihanku dalam urusanku dan apa pun yang Engkau lebih
mengetahuinya daripada aku. Ya Allah, ampunilah bagiku
kesungguhan dan sendagurauku, kelalaian dan kesengajaanku, dan
semua itu adapada diriku. Ya Allah, ampunilah bagiku apa yang
telah kudahulukan dan apa yang kuakhirkan, yang kurahasiakan
dan yang kutampakkan, serta apa pun yang Engkau lebih
mengetahuinya daripada aku. Engkau Ilahku yang tiada Ilah selain
Engkau. "
Kedua:
Apakah taubat dari suatu dosa dianggap sah, sementara dosa yang
lain masih tetap dilakukan?
Ada dua pendapat di kalangan ulama tentang masalah ini, yang
keduanya diriwayatkan dari Al-Imam Ahmad. Tapi tidak ditemukan
adanya perbedaan pendapat dari orang yang mengisahkan adanya ijma'
tentang sahnya taubat itu, seperti yang dilakukan An-Nawawy dan lain-
lainnya. Memang masalah ini bisa dianggap rumit, yang perlu ada kepas-
tian untuk salah satu di antara kedua pendapat ini, yang tentu saja harus
disertai dalil yang pasti. Golongan yang menganggap taubat itu sah, ber-
hujjah bahwa selagi seseorang sudah masuk Islam secara benar, yang
berarti dia sudah bertaubat dari kekufuran, maka Islamnya itu sudah sah
sekalipun dia masih melakukan kedurhakaan dan dia belum bertaubat dari
kedurhakaan itu. Maka taubat dari satu dosa sudah dianggap sah sekalipun
dia masih melakukan dosa lain.
Golongan satunya lagi menanggapi hujjah ini, bahwa Islam meru-
pakan satu keadaan yang tidak bisa disamakan dengan yang lain, karena
kekuatan, pengaruh dan cara mendapatkannya, yang biasanya anak le-bih
cenderang mengikuti agama kedua orang tuanya, atau budak yang
mengikuti agama tuannya.
Yang lain lagi berpendapat bahwa taubat adalah kembali kepada
Allah, yang tadinya durhaka berabah menjadi taat kepada-Nya. Lalu apakah
makna kembali di sini bagi orang yang bertaubat dari satu dosa, dan dia
masih terus melakukan dosa yang lain? Menurut mereka, Allah tidak akan
menghukum orang yang bertaubat, karena dia sudah kembali menaati dan
beribadah kepada-Nya serta bertaubat dengan sebenar-benarnya. Orang
yang masih melakukan dosa seperti dosa yang dia mintakan am-punannya
kepada AUah, berarti belum bertaubat dengan sebenar-benarnya. Jika
orang yang bertaubat kepada Allah dapat menghilangkan cap orang yang
durhaka, sebagaimana orang kafir yang sudah kehilangan cap kafir jika dia
sudah masuk Islam, maka jika dia masih mengerjakan dosa, maka cap
durhaka itu belum hilang darinya, sehingga taubatnya belum dianggap
sah.
Letak permasalahannya, apakah taubat itu bisa dipilah-pilah seperti
halnya kedurhakaan, sehingga orang yang bertaubat dari satu dosa belum
dianggap bertaubat dari dosa yang lain, seperti halnya iman dan Islam?
Memang taubat itu bisa dipilah-pilah. Sebagaimana cara pelaksana-
annya yang berbeda, porsinya pun juga berbeda. Jika seseorang melakukan
satu kewajiban dan meninggalkan kewajiban lainnya, maka dia mendapat
hukuman berdasarkan kewajiban yang ditinggalkannya dan bukan
dihukum berdasarkan kewajiban yang dilakukannya. Begitu pula jika dia
bertaubat dari satu dosa dan tetap melakukan dosa yang lain. Berarti dia
haras bertaubat dari dosa itu.
Ada pula pendapat lain yang mengatakan bahwa taubat adalah satu
perbuatan. Artinya, taubat adalah membebaskan diri dari hal-hal yang
dimurkai Allah, kembali menaati-Nya dan menyesali apa yang telah diper-
buat. Jika taubat itu tidak dikerjakan secara sempurna, maka ia belum
dianggap sah, karena ia merapakan satu bentuk ibadah. Melakukan seba-gian
di antaranya dan meninggalkan sebagian yang lain lagi, sama dengan
melakukan sebagian ibadah wajib dan meninggalkan sebagian yang lain.
Ada pula yang berpendapat, setiap dosa mempunyai taubat yang
khusus baginya, atau merupakan kewajiban darinya. Satu taubat tidak
berkaitan dengan taubat lainnya, sebagaimana satu dosa yang tidak ber-
kaitan dengan dosa lainnya.
Menurat pendapat saya dalam masalah ini, bahwa taubat itu tidak
dianggap sah dari satu dosa tertentu, jika dosa lain yang sejenis tetap
dikerjakan. Sedangkan taubat dari satu dosa tertentu dianggap sah, se-
kalipun ada dosa lain yang tidak berkait dengannya masih tetap dilaku-
kan. Contohnya, seseorang bertaubat dari dosa riba, tapi belum bertaubat
dari dosa minum khamr atau bahkan tetap melakukannya. Taubatnya dari
riba ini dianggap sah. Tapi jika dia bertaubat dari riba fadhl dan tidak
bertaubat dari riba nasi'ah, atau dia bertaubat dari mengkonsumi ganja
namun tetap meminum khamr, maka taubatnya itu tidak dianggap sah.
Keadaannya seperti bertaubat dari zina dengan seorang wanita, namun dia
tetap berzina dengan wanita lainnya. Ini pada hakikatnya belum bertaubat
dari dosa tersebut. Dia hanya beralih dari satu jenis dosa ke jenis lainnya
yang serupa, berbeda andaikan dia beralih dari satu kedurha-kaan ke
kedurhakaan lain yang tidak serupa.
Ketiga:
Agar taubat menjadi sah, apakah ada syarat bagi orang yang ber-
taubat untuk tidak kembali lagi melakukan dosa sama sekali, ataukah
tidak ada syarat seperti itu?
Sebagian orang mensyaratkan larangan mengerjakan kembali dosa
yang sama. Jika kembali melakukannya secara sengaja, berarti taubatnya
tidak sah. Namun kebanyakan orang tidak mensyaratkan seperti itu. Sah-
nya taubat tergantung kepada pembebasan dirinya dari dosa itu, menye-
salinya dan bertekad untuk tidak melakukannya kembali. Jika permasalah-
annya menyangkut hak manusia, maka apakah disyaratkan pembebasan
hak itu? Masalah ini haras dirinci lebih lanjut. Jika dia kembali melaku-
kannya, padahal dia sudah bertekad untuk tidak melakukannya kembali
saat bertaubat, maka keadaannya seperti orang yang mulai melakukan
kedurhakaan, dan taubat sebelumnya tidak gugur.
Permasalahan ini dikembalikan kepada asal-muasalnya, bahwa jika
seorang hamba bertaubat dari suatu dosa, kemudian dia melakukannya
kembali, maka apakah dosa yang telah dimintakan taubat itu kembali lagi,
sehingga dia berhak mendapat siksaan atas dosanya yang pertama dan
yang terakhir, jika dia mati dalam keadaan tetap melakukan dosa itu?
Dengan kata lain, apakah dia harus menanggung seluruh dosanya?
Ataukah dia hanya mendapat siksa atas dosanya yang terakhir?
Dalam hal ini ada dua pendapat. Golongan pertama berpendapat,
dosanya yang pertama kembali kepadanya lagi karena taubatnya dianggap
batal. Menurut mereka, karena taubat itu bisa disejajarkan dengan Islam
setelah kufur. Jika orang kafir masuk Islam, maka keislamannya itu
menghapus segala dosa semasa kekufurannya. Namun jika dia murtad,
maka dosanya yang pertama akan kembali lagi kepadanya dan ditambah
dengan dosa murtad. Hal ini seperti yang disebutkan di dalam Ash-Sha-hih,
dari Nabi ShalMlahu Alaihi wa Sallam, beHau bersabda.
"Barangsiapa berbuat kebaikan semasa Islam, maka tidak ada
hukuman yang dijatuhkan kepadanya dari amalnya semasa
Jahiliyah, dan barangsiapa berbuat keburukan semasa Islam, maka
dia mendapat hukuman karena keburukannya yang pertama dan
yang terakhir. "
Inilah keadaan orang yang masuk Islam dan berbuat keburukan
setelah dia masuk Islam. Sebagaimana yang diketahui, murtad merupa-kan
keburukan yang paling besar dalam Islam. Jika dia dihukum setelah murtad
dan juga dosanya sewaktu kufur, sementara Islam yang membatasi dua
keadaannya tidak berperan apa-apa, maka begitu pula taubat yang
membatasi antara dua dosa, yang tidak bisa menggugurkan dosa yang
lampau, sebagaimana ia yang juga tidak bisa menggugurkan dosa
berikutnya.
Masih menurut mereka, sahnya taubat ini disyaratkan dengan ke-
langsungannya. Sesuatu yang digantungkan kepada syarat akan diang-gap
musnah jika syaratnya musnah, sebagaimana sahnya Islam yang di-
syaratkan dengan kelangsungannya. Jadi taubat merupakan keharusan
sepanjang hayat, sehingga hukumnya juga berlaku sepanjang hayat. Hal ini
ditunjukkan sebuah hadits shaliih, yaitu sabda beliau,
^ ^ ^-^ ''j^ jlj]| (JaI (J-<«j iS^axA L-iU^I AjIc (^ijuoja
"Sesungguh-nya seorang hamba benar-benar mengerjakan amal
penghuni surga, sehingga jarak antara dirinya dan surga itu hanya
sejengkal. Namun dia didahului ketetapan takdir, sehingga dia
mengerjakan amal penghuni neraka, lalu dia pun masuk ke dalam
neraka. "
Dalam As-Sunan juga disebutkan sabda beliau, "Sesungguhnya seorang
hamba benar-benar mengerjakan ketaatan kepada Allah selama enam puluh
tahun. Menjelang kematiannya, dia berbuat aniaya dalam wasiatnya,
sehingga dia masuk neraka." Kesudahan yang buruk lebih umum dari
sekedar kesudahan karena kufur atau suatu kedurhakaan, dan amal-amal itu
diukur dari kesudahannya.
Apabila ada yang berkata, "Berarti kebaikan terhapus oleh kebu-
rukan", maka ini adalah pendapat golongan Mu'tazilah. Sementara Al-
Qur'an dan As-Sunnah memberitahukan bahwa kebaikanlah yang meng-
hapus keburukan, bukan sebaliknya, seperti firman AUah,
"Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapus (dosa)
perbuatan-perbuatan yang buruk. " (Hud: 114).
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada Mu'adz bin Jabal,
^jjud^ c3^^ (JjUII t3^^j ^ ^ ^ ^'' AiutaJl Aijjud]! ^\j Clij£ l-ali^ ^1 i^\
"Bertakwalah kepada Allah di mana pun kamu berada, dan susulilah
keburukan dengan kebaikan, niscaya ia akan menghapusnya, dan
gaulilah manusia dengan akhlak yang baik. "
Hal ini bisa dijelaskan, bahwa Al-Qur'an dan As-Sunnah telah mem-
beritahukan timbangan terhadap kebaikan dan keburukan. Sebagian isi
Kitab Allah tidak akan bertentangan atau menggugurkan sebagian yang
lain, dan Al-Qur'an tidak bisa disanggah oleh pendapat golongan
Mu'tazilah. Di dalam Al-Qur'an juga disebutkan tentang amal yang bisa
gugur karena perbuatan tertentu, seperti firman-Nya,
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menghilangkan
(pahala) shadaqah kalian dengan menyebut-nyebutnya dan
menyakiti (perasaan si penerima). " (Al-Baqarah: 264).
Jika sudah ada kejelasan tentang kaidah syariat, bahwa sebagian
keburukan itu ada yang bisa menggugurkan kebaikan, maka keburukan
melakukan dosa kembali juga bisa menggugurkan kebaikan taubat, yang
membuat taubat itu seakan-akan tidak pernah terjadi. Dengan begitu tidak
ada lagi pembatas di antara dua dosa itu, yaitu dosa pertama dan dosa
yang diulangi lagi.
Al-Qur'an, As-Sunnah dan ijma' sudah menjelaskan adanya tim-
bangan. Faidahnya untuk mengetahui mana yang lebih berat timbang-
annya, sehingga pengaruhnya tertuju bagi yang lebih berat dan meng-
abaikan yang lebih ringan. Ibnu Mas'ud berkata, "Pada hari kiamat manu-
sia akan dihisab. Barangsiapa keburukannya lebih banyak daripada ke-
baikannya, walaupun hanya selisih satu saja, maka dia masuk neraka. Ba-
rangsiapa kebaikannya lebih banyak daripada keburukannya, walaupun
selisih satu saja, maka dia masuk surga." Kemudian dia membaca ayat.
"Maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya, mereka itulah
orang-orang yang beruntung. Dan, siapa yang ringan timbangan
kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya
sendiri. " (Al-A'raf: 8-9).
Kemudian Ibnu Mas'ud berkata lagi, "Timbangan itu bisa menjadi
ringan atau menjadi berat karena amal yang seberat biji-bijian. Barang-
siapa kebaikan dan keburukannya sama, maka dia termasuk penghuni Al-
A'raf (antara surga dan neraka)."
Ini artinya, apakah yang kuat akan menghapus yang ringan, se-
hingga seakan-akan yang ringan itu seperti tidak pernah ada sama sekali,
atau kedua belah pihak cukup hanya dengan ditimbang dan kesudahan-
nya diberikan kepada bagian yang lebih berat? Jika kebaikannya lebih
berat, apakah dia mendapat pahala dan tidak disiksa atas keburukan yang
dia lakukan? Atau jika keburukannya lebih berat walau hanya selisih satu
keburukan saja, apakah dia dilemparkan ke dalam neraka?
Tentu saja semua ini haras dikembalikan kepada golongan yang
melihat berlakunya alasan dan hikmah. Jika manusia selamat dari syirik
umpamanya, yang merapakan dosa yang tidak diampuni Allah, maka
tidak ada amalnya yang sia-sia dan tidak ada pahalanya yang dikurangi.
Timbangan atas kebaikan dan keburukannya kembali kepada pengaruh
pensucian jiwa, karena masing-masing akan mendapatkan derajat sesuai
dengan amalnya. Sementara tidak ada yang bisa mengetahui kemantap-an
pensucian jiwa yang bisa menyelamatkan orang Mukmin dari siksa kecuali
Allah semata. Dengan jawaban ini, maka beberapa ayatyang menjelaskan
masalah pahala, amal dan timbangan bisa dikompromikan. Tetapi gugurnya
amal mempunyai tanda-tanda yang bisa diketahui orang yang menghisab
dirinya.
Sedangkan golongan Jabariyah yang tidak melihat berlakunya alasan,
sebab dan hikmah, pahala dan siksa, menolak semua ini. Karena semua
perbuatan dan perkataan manusia menurut mereka ada di Tangan Allah,
sementara mereka tidak tahu apa yang dikehendaki Allah. Sehing-ga orang
yang lebih banyak kebaikannya pun bisa mendapat siksa dan orang yang
lebih banyak keburukannya pun bisa mendapat pahala.
Sedangkan golongan lain berpendapat bahwa dosa pertama tidak
kembali kepada pelakunya karena taubatnya yang batal atau rasak. Sebab
dosa itu sudah diampuni karena taubat, sehingga sama dengan sesuatu
yang belum pemah dikerjakan dan tidak pemah terjadi. Yang kembali
kepadanya adalah dosa setelah taubatnya yang rusak dan bukan yang
sebelumnya. Keabsahan taubatnya tidak disyaratkan dengan adanya
kema'shuman dirinya dari kesalahan hingga akhir hayat. Tapi jika dia
menyesal, melepaskan diri dari dosa yang lalu dan bertekad untuk tidak
mengulanginya lagi, maka dosanya itu dihapuskan. Jika kemudian dia
mengulanginya lagi, maka dosanya terletak pada pengulangan itu. Hal ini
tidak bisa disamakan dengan kufur yang menggugurkan semua amal. Kufur
merapakan kondisi tersendiri yang menghapus semua kebaikan. Sementara
mengulang kembali dosa yang sudah dimintakan taubat tidak
menggugurkan kebaikan-kebaikan yang lampau.
Taubat adalah kebaikan yang paling besar. Andaikan kebaikan ini
terhapus oleh dosa yang dilakukan kembali, tentunya semua kebaikan yang
lampau juga ikut terhapus. Tentu saja logika ini tidak bisa diterima, karena
mirip dengan pendapat Khawarij yang menghapus semua dosa, atau mirip
dengan pendapat Mu'tazilah yang menganggap semua pelaku dosa besar
berada di neraka selama-lamanya, sekalipun dia mempunyai sekian banyak
kebaikan. Sementara dua golongan ini tertolak dalam Islam, karena
pendapat-pendapat dua golongan ini bertentangan dengan prinsip keadilan
dan nash. Allah befirman,
"Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang pun walau seberat
dzarrah, dan jika ada kebajikan seberat dzarrah, niscaya Allah akan
melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar. "
(An-Nisa': 40).
Tentang keberlangsungan taubat, maka itu merapakan syarat kesem-
purnaannya, bukan merapakan syarat sahnya taubat untuk dosa yang telah
lampau. Tidak derrakian halnya dengan ibadah-ibadah lain seperti puasa
selama sehari penuh dan bilangan-bilangan rakaat shalat, karena ini
merapakan satu bentuk ibadah tersendiri, yang tidak bisa diterima kecuali
dengan mengikuti semua rukun dan bagian-bagiannya yang sudah baku. Tapi
taubat merapakan ibadah yang bilangannya banyak, tergan-tung dari
banyaknya dosa. Satu dosa mempunyai satu taubat secara khusus.
Perbandingannya, seseorang puasa Ramadhan. Pada suatu hari dia makan
tanpa ada alasan yang diperbolehkan. Apakah hari batalnya puasa ini
menggugurkan pahala hari-hari lain yang diisi dengan puasa? Apakah
orang yang tidak berpuasa menghapuskan pahala shalat fardhu yang
dikerjakannya? Inti permasalahan ini, bahwa taubat adalah suatu kebaikan
sedangkan mengerjakan dosa kembali adalah suatu keburukan.
Pengulangan dosa ini tidak membatalkan kebaikan. Ini lebih dekat dengan
prinsip Ahlus-Sunnah, bahwa seseorang terkadang menjadi orang yang
dicintai Allah dan juga dimurkai-Nya, terkadang di dalam dirinya ada
iman dan juga nifaq, iman dan juga kufur.
Keempat:
Jika orang yang durhaka dihalangi dari sebab-sebab kedurhakaan
dan dia dibuat tidak berdaya untuk melakukannya, maka apakah
taubatnya dianggap sah? Gambarannya seperti pendusta, orang yang suka
menuduh dan orang yang memberi kesaksian palsu, yang lidahnya
dipotong, atau pezina yang kemaluannya dikebiri, atau pencuri yang
tangan dan kakinya dilumpuhkan.
Ada dua pendapat tentang hal ini. Golongan pertama berpendapat,
bahwa taubatnya dianggap tidak sah. Sebab taubat itu hanya berlaku bagi
orang yang memungkinkan untuk melakukan sesuatu dan
meninggalkannya. Taubat hanya dari orang yang memungkinkan untuk
berbuat dan bukan dari orang yang mustahil berbuat. Jangan
menggambarkan taubat dari orang yang bisa memindahkan sebuah
gunung dari tempat-nya, mampu mengeringkan lautan dan lain-lainnya.
Karena merekayang digambarkan ini layaknya orang yang dipaksa untuk
meninggalkan suatu perbuatan, sehingga taubatnya dianggap tidak sah.
Beberapa nash juga telah menjelaskan bahwa taubat pada saat menjelang
ajal tidak berguna sama sekali, karena itu merupakan taubat dalam
keadaan terpaksa dan terdesak, bukan atas kesukaan hati. Firman Allah,
Lfe* UJ^J^. ^ 5^W^ ^^^1 ^jLakj (JJ^ aIII ^_j1c. AjjjII Iaj]
"Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-
orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang
kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah
yang diterima Allah taubatnya, dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana. Dan, tidaklah taubat itu diterima Allah dari
orang-orang yang mengerjakan kejaliatan (yang) hingga apabila
datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia
mengatakan, 'Sesungguhnya saya bertaubat sekarang'. Dan, tidak
pula (diterima taubat) orang-orang yang mati, sedang mereka
dalam kekufuran. " (An-Nisa': 17-18).
Kejahilan di sini adalah kejahilan amal sekalipun mengetahui
keharamannya. Qatadah berkata, "Para shahabat sepakat bahwa apa pun
bentuk kedurhakaan terhadap Allah adalah kejahilan, sengaja maupun
tidak disengaja dan setiap orang yang durhaka kepada Allah adalah orang
jahil."
Sedangkan taubat dengan segera dalam ayat ini menurut Jumhur
mufassirin adalah taubat sebelum melihat kedatangan malaikat yang akan
mencabut nyawanya. Di dalam Al-Musnad dan lainnya, dari Ibnu Umar
Radhiyallahu Anhuma, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau
bersabda,
jLjkj a] La AJxll AjjJ (JjIj ^I ^j
"Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba selagi ajal belum
menghampirinya. "
Selagi ajal sudah di depan mata, lalu dia menyatakan taubat, maka
taubatnya itu tidak diterima, karena ini merupakan taubat yang terpaksa.
Di samping itu, hakikat taubat adalah menahan hati dari perbuatan yang
berkaitan dengan larangan. Menahan di sini haras berasal dari uras-an
yang memang bisa dikerjakan. Tapi untuk sesuatu yang mustahil bisa
dikerjakan, maka bagaimana mungkin menahan hati darinya?
Pendapat kedua, dan ini yang benar, bahwa taubatnya tetap sah dan
dianggap mungkin, bahkan nyata, sebab rukun-rukun taubat sudah
terpenuhi di dalamnya. Yang bisa dilakukan dalam hal ini adalah
penyesalan. Di dalam Musnad disebutkan secara marfu', "Penyesalan itu
sama dengan taubat." Bagaimana mungkin taubat dicabut darinya,
padahal dia sangat menyesali dosanya? Apalagi jika penyesalan ini
disertai dengan tangis, kesedihan, ketakutan dan tekad yang bulat, dengan
disertai niat, bahwa jika dia dalam keadaan sehat dan mampu, tidak akan
mengerjakannya lagi.
RasuluUah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah menempatkan orang
yang tidak mampu melakukan suatu ketaatan, sama dengan orang yang
melakukannya, yaitu jika niatnya benar dan bulat. Beliau bersabda, "Se-
sungguhnya di Madinah ada beberapa orang. Tidaklah kalian melewati
suatu jalan dan tidaklah kahan melintasi suatu lembah, melainkan mere-
kabeserta kalian."
Para shahabat bertanya, "Sementara mereka ada di Madinah?"
Beliau menjawab, "Ya, mereka berada di Madinah. Mereka tertahan
halangan."
Orang yang memang tak mampu melakukan kedurhakaan dan me-
ninggalkannya dalam keadaan terpaksa, dengan disertai niat untuk me-
ninggalkannya atas inisiatif hatinya, maka kedudukannya sama dengan
orang yang meninggalkannya secara sengaja dan atas inisiatif hatinya.
Perbedaan keadaan ini dengan orang yang melihat ajal di depan
matanya atau ketika kiamat sudah tiba, bahwa taklif (keharasan
mengerjakan kewajiban) sudah terputus pada saat ajal di depan mata.
Taubat berlaku hanya pada masa taklif. Orang yang lemah itu belum
terputus dari taklif, berarti perintah dan larangan masih berlaku bagi
dirinya.
Kelima:
Jika dosa yang dilakukan berkaitan dengan hak orang lain, yang
berkaitan dengan hak harta atau tindak kejahatan terhadap badan, maka
dia harus memenuhi hak orang itu dan meminta pembebasan diri dari
kesalahan setelah memberitahukannya, seperti yang diriwayatkan dari
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,
"Barangsiapa berbuat zhalim terhadap harta atau kehormatan sauda-
ranya, maka hendaklah dia membebaskan dirinya (dengan membayar
tebusan) pada hari ini pula, sebelum (datang hari dimana) dinar dan
dirham tidak ada artinya, selain kebaikan dan keburukan. "
Jika kezhaliman itu berupa ghibah, cacian atau tuduhan, maka apa-
kah dalam taubatnya itu disyaratkan agar dia memberitahukan bentuk
ghibahnya itu dan meminta ampunannya agar dia terbebas dari dosa itu?
Ataukah dia cukup memberitahukan bahwa dia telah melanggar kehor-
matannya dan tidak perlu menyebutkan bentuknya secara rinci? Ataukah
tidak ada syarat seperti dua gambaran ini, tapi dia cukup meminta
ampunan bagi dosa saudaranya dan dosa dirinya, tanpa memberitahukan
bahwa dia telah menuduh atau mengghibahnya?
Pendapat yang dikenal di dalam madzhab Asy-Syafi'y dan Abu Hani-
fah serta Malik, disyaratkan memberitahukannya dan pembebasan dirinya.
Begitu pula yang disebutkan rekan-rekan mereka di dalam buku-bukunya.
Mereka berhujjah, bahwa dosa itu berkaitan dengan hak manu-sia,
sehingga belum dianggap gugur kecuali setelah ada pembebasan darinya.
Mereka berhujjah dengan hadits di atas. Masih menurut mereka, bahwa
kejahatan ini berkaitan dengan dua hak, yaitu hak AUah dan hak manusia.
Meminta kebebasan kejahatannya dari orang yang dijahati untuk
memenuhi haknya, dan penyesalan atas kejahatannya untuk me-menuhi
hak Allah. Maka dari itu taubatnya seorang pembunuh belum dianggap
sempurna kecuali adanya ketetapan dari wall korban terhadap nasib
dirinya. Jika menghendaki, wall korban bisa menuntut balas darah dengan
pelaksanaan qishash, dan jika menghendaki bisa memaafkan-nya. Begitu
pula taubatnya orang yang memotong tangan orang lain.
Pendapat lain, bahwa tidak ada syarat untuk memberitahukan tu-
duhan dan ghibahnya kepada orang yang dighibah. Tapi taubatnya cukup
dengan memohon ampunan kepada Allah bagi dosanya, lalu dia harus
membela orang yang dighibahnya dan mengatakan kebalikan dari ghibahnya
di tempat-tempat dimana dia telah mengghibah. Sebagai contoh, dia
mengganti ghibahnya dengan pujian dan menyebut kebaikan-kebaikan-
nya, lalu memintakan ampunan bagi orang yang dighibahnya itu. Pendapat
ini juga merupakan pilihan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah.
Golongan ini berhujjah, karena dengan memberitahukan ghibahnya
justru hanya akan mendatangkan kerusakan, sama sekali tidak menjamin
adanya kemaslahatan, semakin menambah sakit hati dan suasana menjadi
kerah. Padahal hatinya tenang sebelum mendengar pemberitahuannya.
Bahkan setelah mendengarnya, ada kemungkinan dia tidak mampu
menguasai diri lalu bisa menimbulkan tindak kekerasan terhadap fisik atau
bahkan pembunuhan. Hal ini tentu berlawanan dengan maksud pembawa
syariat yang hendak menyatukan hati manusia, agar mereka saling
menyayangi, mencintai dan mengasihi.
Memang hal ini berbeda dengan hak-hak material dan tindak keja-
hatan fisik, yang bisa dilihat dari dua pertimbangan:
1. Korban bisa memanfaatkan harta, jika harta itu dikembalikan kepada-
nya, dan hal ini juga tidak boleh ditutup-tutupi, karena harta itu mut-lak
menjadi miliknya, sehingga orang yang mengambilnya harus
mengembalikannya. Berbeda dengan ghibah dan tuduhan, yang sama
sekali tidak ada manfaat secara langsung yang bisa dinikmati korban.
Akibatnya hanya akan menambah sakit hati.
2. Jika orang yang mengambil harta orang lain memberitahukan per-
buatannya, tidak akan menyakiti hati korban, tidak memancing ama-
rahnya atau menimbulkan permusuhan, bahkan sebaliknya, akan
membuatnya senang dan gembira. Hal ini berbeda dengan pemberita-
huan pelaku, bahwa dia telah mengoyak kehormatannya, mengghibah
dan menuduhnya dengan berbagai macam tuduhan. Kalaupun dua hal
ini dibandingkan, maka ini merupakan perbandingan yang tidak setara
dan rusak.
Keenam:
Jika seorang hamba sudah bertaubat dari suatu dosa, maka apakah
keadaannya kembali ke derajat sebelum dia melakukan dosa itu ataukah
tidak bisa kembali seperti semula? Ada perbedaan pendapat mengenai
masalah ini.
Ada yang berpendapat, dia kembali ke derajatnya semula, karena
taubat itu memangkas dosanya secara keseluruhan dan menjadikan dirinya
seakan-akan dosa itu tidak pernah ada. Maka iman dan amal shahhnya
kembali ke derajat semula karena taubat. Alasannya menurut mereka, karena
taubat itu kebaikan yang besar dan amal yang shalih. Jika dosa pernah
menyingkirkan dirinya dari derajatnya semula, maka kebaikan-nya dengan
bertaubat itu telah mengembalikan derajatnya. Hal ini seperti orang yang
jatuh ke dalam sumur, lalu saudara kandungnya menjulurkan tali ke dalam
sumur dan menariknya ke atas, ke tempatnya semula. Begitu pula taubat dan
amal shalih yang bisa diibaratkan saudara se-kandung dan pasangan yang
serasi.
Ada pula yang berpendapat, dia tidak bisa kembaU ke derajat dan
keadaannya semula sebelum melakukan dosa, karena dia masih dalam
posisi berhenti, yang semestinya dia naik ke atas. Dengan adanya dosa,
berarti dia dalam posisi turun ke bawah. Jika bertaubat, maka dia dalam
posisi siap naik ke atas lagi. Perumpamaan keadaan ini seperti dua orang
yang sama-sama melewati satu jalan dengan cara yang sama dan berjejer.
Salah seorang ada penghalang atau ada sesuatu yang membuatnya meng-
hentikan perjalanan, sementara satunya lagi meneruskan perjalanan. Jika
orang pertama berjalan lagi mengikuti jejak temannya, tentu dia tidak
akan mampu menyusulnya. Orang pertama berjalan dengan kekuatan
amal dan imannya. Kekuatannya semakin bertambah selagi perjalanan-
nya terus bertambah. Sementara orang kedua yang menghentikan perja-
lanan, kekuatannya bisa melemah karena dia berhenti.
Saya pernah mendengar Ibnu Taimiyah mengisahkan perbedaan ini,
dan dia berkata, "Yang benar, di antara orang-orang yang bertaubat ada
yang tidak bisa kembali ke derajatnya semula, ada pula yang bisa kembali
ke derajatnya semula, dan ada pula yang justru kembali ke derajat yang lebih
tinggi lagi, sehingga dia menjadi lebih baik daripada keadaan-nya sebelum
melakukan dosa, seperti halnya Nabi Daud yang menjadi lebih baik dari
keadaan beliau sebelum melakukan kesalahan, setelah bertaubat. Tentu
saja hal ini kembali ke keadaan orang yang bertaubat setelah dia
menyatakan taubat, kesungguhan, tekad dan kewaspadaan-nya. Jika
taubatnya lebih sungguh-sungguh dan keadaannya lebih baik, maka dia
menjadi lebih baik daripada keadaan sebelumnya dan derajatnya lebih
tinggi. Jika keadaannya sama dengan sebelumnya, berarti derajatnya juga
sama."
Antara Orang Taat Yang Tidak Pernah Durhaka dan Orang
Durhaka Yang Melakukan Taubatan Nashuhan
Dari sini pula dapat diketahui satu masalah yang cukup penting,
apakah orang taat yang tidak pernah durhaka lebih baik daripada orang
durhaka yang bertaubat kepada Allah dengan taubatan nashuhan? Atau-kah
orang yang bertaubat itu yang lebih baik?
Ada perbedaan pendapat dalam masalah ini. Ada golongan orang
yang menegaskan bahwa orang yang tidak pernah durhaka lebih baik
daripada orang durhaka yang melakukan taubatan nashuhan (taubat
dengan sebenar-benarnya). Mereka mengemukakan beberapa hujjah:
1. Hamba yang paling sempurna dan utama ialah yang paling taat kepada
AUah. Orang yang tidak pemah durhaka berarti orang yang paling taat,
sehingga dia menjadi orang yang paling utama.
2. Pada saat orang durhaka sibuk dengan kedurhakaannya, maka orang
yang taat menempuh beberapa tahapan menuju ke atas, sehingga
derajatnya lebih tinggi. Taruklah bahwa orang yang durhaka itu ber-
taubat lalu menyusul perjalanannya. Tapi mana mungkin dia dapat
menyusulnya, karena sebelumnya dia sudah berhenti?
3. Maksud taubat adalah untuk menghapus kesalahan-kesalahannya, lalu
setelah itu dia seperti tidak pernah melakukan kesalahan itu. Perbuat-
annya pada masa kedurhakaan tidak mendatangkan keberuntungan dan
tidak pula hukuman baginya. Lalu bagaimana jika keadaannya ini
dibandingkan dengan orang yang berusaha dan mendapat keberun-
tungan?
4. Allah membenci kedurhakaan terhadap-Nya dan menyalahi perintah-
Nya. Pada waktu dia melakukan dosa ini, maka dia mendapat keben-
cian dari Allah. Sementara orang yang taat mendapat keridhaan dan
Allah senantiasa ridha kepadanya. Maka tidak dapat diragukan bahwa
keadaan orang kedua ini lebih baik daripada keadaan orang yang di-
ridhai Allah, lalu dimurkai, lalu diridhai. Ridha yang berkelanjutan
lebih baik daripada ridha yang berselang-seling.
5. Dosa itu bisa diibaratkan minum racun, sedangkan taubat merupakan
penawar dan obatnya. Sementara ketaatan bisa diibaratkan kesehatan.
Terus-menerus dalam keadaan sehat tentu lebih baik daripada keadaan
sehat yang diseUngi dengan sakit karena sakit atau racun yang masuk,
lalu sembuh dan sehat kembali.
6. Orang yang durhaka dalam keadaan gawat dan terancam bahaya, yang
keadaannya tidak lepas dari tiga hal: Mati karena minum racun, kekuat-
annya berkurang dan melemah kalau memang tidak mati, dan kekuat-
annya kembali seperti semula, atau lebih lemah atau lebih baik.
7. Orang yang taat berada dalam sebuah kebun yang dikelihngi ketaat-
annya, sehingga membentuk pagar yang kokoh bagi dirinya, dan musuh
pun tidak mampu menyusup ke sana. Tumbuh-tumbuhannya segar dan
buahnya lebat.
8. Musuh tamak kepada orang yang durhaka, karena kelemahan ilmu dan
tekadnya, karena itu dia disebut orang jahil.
9. Kedurhakaan pasti menimbulkan pengaruh yang kurang baik, entah
berupa kehancuran total, penyesalan atau pun siksaan, dan kesudah-
annya bisa berupa ampunan dan masuk ke surga. Orang yang bertau-bat
haras membebaskan pengaruh ini dan menebus kesalahannya,
sedangkan orang yang taat tinggal menambah dan meninggikan dera-
jatnya. Maka shalat malam yang dilakukan Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam beraianfaat untuk meninggikan derajat beliau, sedangkan shalat
malam yang dilakukan selain beliau untuk menebus kesalahan. Dua
keadaan ini saja tidak bisa disetarakan.
lO.Orang taat kepada Allah berjalan dengan selurah amalnya. Selagi ke
taatan dan amalnya bertambah, maka bertambah pula usaha ketaat-
annya. Dia bisa diibaratkan pedagang yang melancong dan berusaha
untuk mendapatkan keuntungan sepuluh kali lipat dari modalnya.
Lalu dia melancong lagi dengan membawa modal pertama dan ditam-
bah keuntungannya, sehingga dia mendapatkan keuntungan sepuluh
kali lipat lagi. Begitu seterusnya dalam perjalanan ketiga kalinya, de
ngan keuntungan yang berlipat-Upat. Apabila sekali saja dia tidak meng-
adakan perjalanan, maka dia tidak akan mendapatkan keuntungan
seperti yang dia dapatkan dalam satu kali perjalanannya, atau bahkan
lebih. Inilah makna yang tersirat di dalam perkataan Al-Junaid Rahi-
mahuUah, "Jika orang yang beribadah menghadap secara tulus kepa
da Allah selama seribu tahun, kemudian dia berpaling sesaat saja, maka
pahala yang terlepas darinya lebih banyak daripada apa yang didapat-
kannya."
Ada golongan lain yang mengatakan bahwa orang yang bertaubat
dengan taubatan nashuhan lebih baik daripada orang yang belum pernah
melakukan kedurhakaan, sekalipun mereka tidak mengingkari keadaan
orang kedua yang lebih banyak kebaikannya. Mereka mengemukakan
beberapa alasan:
1. Taubat merupakan ubudiyah yang paling dicintai Allah dan paling
mulia, Allah mencintai orang-orang yang bertaubat. Andaikan taubat
bukan merupakan sesuatu paling Dia cintai, tentunya Dia tidak akan
menguji hamba dengan dosa. Karena kecintaan-Nya kepada taubat
hamba, maka Dia mengujinya dengan dosa, agar hamba itu melakukan
sesuatu yang paling dicintai-Nya, yaitu taubat. Sebagai tambahan atas
kecintaan-Nya kepada hamba, maka orang-orang yang bertaubat
mendapatkan kecintaan secara khusus di sisi-Nya.
2. Taubat mempunyai tempat tersendiri di sisi Allah, yang tidak dimiliki
ketaatan-ketaatan lainnya. Karena itu Allah amat gembira melihat
taubat hamba-Nya. Kegembiraan Allah itu dimisalkan RasuluUah Shal-
lallahu Alaihi wa Sallam dengan kegembiraan seorang musafir yang
mendapatkan kembali onta yang membawa seluruh bekalnya, di suatu
tempat yang ganas dan kering, setelah onta itu lepas entah kemana, dan
orang itu sudah putus asa untuk bisa bertahan hidup di tempat itu.
Kegembiraan ini tidak ditampakkan terhadap satu ketaatan pun kecuali
terhadap taubat. Tentu saja kegembiraan AUah ini mempunyai pengaruh
yang amat kuat di dalam hati orang yang bertaubat. Sehing-ga orang
yang bertaubat mendapatkan kecintaan Allah, yang berarti dia menjadi
kekasih Allah.
3. Di dalam taubat terkandung kehinaan, kehancuran hati, kehampaan,
ketundukan dan kebergantungan kepada Allah, suatu sikap yang lebih
dicintai Allah daripada sekian banyak amal-amal zhahir, sekalipun
takaran dan porsinya lebih banyak daripada ubudiyah taubat. Sebab
menghinakan diri merupakan ruh ibadah dan intinya.
4. Tingkatan menghinakan diri bagi orang yang bertaubat lebih sempur-na
daripada tingkatan-tingkatan ubudiyah lainnya, karena dia masih bisa
melakukan apa yang dilakukan orang lain, sementara dia memi-liki
keistimewaan dengan menghinakan diri dan merasakan hatinya yang
hampa. Allah lebih dekat dengan hamba-Nya saat dia menghinakan
diri.
5. Terkadang dosa justru lebih bermanfaat bagi hamba selagi disertai
dengan taubat daripada berbagai macam ketaatan. Inilah makna
perkataan sebagian orang salaf, "Adakalanya seorang hamba berbuat
dosa lalu masuk surga, dan adakalanya seorang hamba melakukan
ketaatan lalu masuk neraka."
Orang -orang bertanya, "Bagaimana itu bisa terjadi?" Dia menjawab,
"Dia berbuat dosa, dan dosa itu selalu tampak di depan matanya. Jika
berdiri, duduk dan berjalan dia selalu teringat dosanya itu lalu membuat
hatinya terasa hancur, bertaubat, menyesal dan memohon ampunan,
sehingga yang demikian ini menjadi sebab keselamatannya. Dia
berbuat kebaikan dan kebaikannya itu selalu tampak di depan matanya.
Jika berdiri, duduk dan berjalan dia selalu teringat kebaikannya itu,
sehingga membuatnya takabur, ujub dan merasa telah mendapat karunia,
sehingga yang demikian ini menjadi sebab kebinasaannya."
Jika Allah menghendaki suatu kebaikan pada seorang hamba, maka Dia
memberinya dosa yang membuat hatinya hancur, kepalanya merunduk,
tidak ujub dan tidak takabur, sehingga dosa ini lebih ber-manfaat
daripada sekian banyak ketaatan. Taubatnya ini bisa diumpa-makan obat
yang diminum untuk mengeluarkan seluruh penyakit di dalam tubuh.
6. Ada kabar gembira yang disampaikan AUah kepada orang-orang yang
bertaubat, jika taubatnya itu disertai dengan iman dan amal shalih,
sebagaimana firman-Nya,
"Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal
shalih, maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan,
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. " (Al-Furqan: 70).
Ibnu Abbas berkata, " Aku tidak pemah melihat Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam menunjukkan kegembiraan karena sesuatu seperti kegembiraan
beliau saat ayat ini turan, begitu pula saat surat Al-Fath turan." Orang-
orang berbeda pendapat tentang sifat penggantian ini, apakah hal itu
berlaku di dunia ataukah di akhirat? Menurut Ibnu Abbas dan rekan-
rekannya, keburukan amal mereka diganti dengan kebaikan, syirik
diganti dengan iman, zina diganti dengan menjaga kehormat-annya,
dusta diganti dengan kejujuran, khianat diganti dengan amanat.
Berdasarkan makna ayat ini, sifat-sifat dan amal-amal mereka yang
buruk diganti dengan sifat dan amal yang shalih, sebagaimana sakit
yang diganti dengan kesehatan.
Sedangkan menurut Sa'id bin Al-Musayyab dan lain-lainnya dari
kalangan tabi'in, maksudnya Allah mengganti keburukan yang mereka
lakukan di dunia dengan kebaikan di akhirat, Dia memberi tempat bagi
setiap keburukan dengan kebaikan.
7. Dengan penyesalannya, orang yang bertaubat mengganti setiap
keburukannya dengan kebaikan. Penyesalan ini merupakan wujud taubat
dari keburukan itu. Taubat dari segala dosa adalah kebaikan. Sehingga
setiap dosa yang dilakukan akan hilang dengan adanya taubat, karena
tempatnya diganti dengan kebaikan. Berdasarkan logika seperti ini,
porsi kebaikan itu akan menjadi sama dengan keburukan, lebih sedikit
atau lebih banyak. Ini tergantung dari bobot taubat dan ketulusan hati
orang yang bertaubat. Inilah rahasia masalah taubat dan sentuhannya
yang halus.
8. Dosa orang yang diakui pelakunya bisa menimbulkan kebaikan yang
lebih besar, lebih banyak, lebih bermanfaat dan lebih mendatangkan
kecintaan Allah daripada dosa itu sendiri. Sampai-sampai syetan berkata,
"Andaikan saja aku tidak pernah menyeretnya untuk melakukan dosa
itu." Syetan merasa menyesal karena mendorong dan menyeret orang
itu untuk melakukan dosa, seperti penyesalan pelakunya karena telah
melakukan dosa itu. Tetapi dua penyesalan ini jauh berbeda. Allah
menyukai hamba-Nya karena telah memancing amarah musuh-Nya,
sementara hamba itu juga mendapatkan sesuatu yang dicintai Allah,
yaitu taubat, apalagi jika taubat itu disertai dengan tambahan amal
shalih, sehingga satu keburukan berubah menjadi satu kebaikan dan
bahkan banyak kebaikan.
Perhatikanlah firman AUah, "Maka kejahatan-kejahatan mereka di-ganti
Allah dengan kebaikan-kebaikan". Allah tidak mengatakan satu bilangan
keburukan dan kebaikan, tetapi banyak. Ini bisa berarti satu keburukan
diganti dengan banyak kebaikan, tergantung dari kondisinya.
Taubat Menurut Al-Qur'an dan Kaitan Taubat dengan
Istighfar
Banyak orang yang menafsiri taubat dengan tekad untuk tidak
kembali mengulangi dosa, melepaskan diri darinya seketika itu pula dan
menyesali apa yang telah dilakukannya di masa lampau. Jika dosa itu
berkaitan dengan hak seseorang, maka dibutuhkan cara lain, yaitu mem-
bebaskan diri dari dosa itu.
Inilah yang mereka sebut dengan taubat, dan bahkan itulah syarat-
syaratnya. Sementara taubat menurut penyampaian Allah dan Rasul-Nya, di
samping meliputi hal-hal itu, juga meliputi tekad untuk melaksana-kan
apa yang diperintahkan dan mengikutinya. Jadi, taubat tidak sebatas
membebaskan diri dari dosa, tekad dan menyesal, yang kemudian dia
disebut orang yang bertaubat, sehingga dia mempunyai tekad yang bulat
untuk mengerjakan apa yang diperintahkan dan mengikutinya. Inilah
hakikat taubat, suatu istilah yang memadukan beberapa hal dari dua
perkara ini. Tapi kalau istilah taubat ini disertakan dengan pelaksanaan
apa yang diperintahkan, memang merupakan ungkapan seperti yang
mereka sebutkan itu. Namun jika disendirikan, maka secara otomatis dia
akan meliputi dua perkara ini. Seperti lafazh "Taqwa", yang jika disendirikan
mengandung pengertian mengerjakan apa yang diperintahkan Allah dan
meninggalkan apa yang dilarang-Nya. Jika disertakan kepada pelaksanaan
apa yang diperintahkan, maka artinya bisa menahan diri dari apa yang
dilarang.
Hakikat taubat adalah kembah kepada Allah dengan mengerjakan
apa-apa yang dicintai-Nya dan meninggalkan apa-apa yang dibenci-Nya,
atau kembali dari sesuatu yang dibenci kepada sesuatu yang dicintai.
Kembali kepada apa yang dicintai merupakan bagian dari kelazimannya
dan kembali dari apa yang dibenci merupakan bagian yang lain. Karena itu
Allah mengaitkan keberuntungan yang mutlak dengan pelaksanaan apa
yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang. Firman-Nya,
"Dan, bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hoi orang-orang yang
beriman, supaya kalian beruntung. " (An-Nur: 3 1).
Setiap orang yang bertaubat adalah orang yang beruntung.
Seseorang tak akan beruntung kecuali dengan mengerjakan apa yang
diperin-tahkan dan meninggalkan apa yang dilarang. Firman-Nya,
rjjAu\\ -A t!lj]jti Luj kl °(jAj
"Dan, barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-
orang yang zhalim. " (Al-Hujurat: 11).
Orang yang meninggalkan apa yang diperintahkan dan mengerjakan
apa yang dilarang adalah orang zhalim. Untuk menghilangkan sebutan
zhalim ini, hanya bisa dilakukan dengan taubat, yang menghimpun dua
perkara sekaligus. Karena manusia itu ada dua macam: Orang yang
bertaubat dan orang yang zhalim. Tidak ada yang lain. Orang-orang yang
bertaubat adalah mereka yang disifati Allah,
(jj^)^V' (jj-^'-j'j"' uj*^'jr' uj 3 u J '', uj-^*-*^'
"Yang beribadah, yang memuji (Allah), yang melawat, yang ruku', yang
sujud, yang menyuruh beri>uat ma'ruf dan mencegah berbuat mungkar
dan yang memelihara hukum-hukum Allah " (At-Taubah: 1 12).
Memelihara hukum-hukum Allah merupakan bagian dari taubat.
Jadi taubat merupakan kumpulan dari perkara-perkara ini. Seseorang di-
sebut orang yang bertaubat, karena dia kembali kepada perintah AUah dari
larangan-Nya, kembah kepada ketaatan dari kedurhakaan kepada-Nya. Jadi
taubat merupakan hakikat Islam, dan semua unsur Islam masuk dalam
istilah taubat. Karena itu orang yang bertaubat layak menjadi kekasih
AUah, karena Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan juga orang-
orang yang mensucikan diri. Allah suka jika perintah-Nya dilaksanakan
dan larangan-Nya ditinggalkan. Jika taubat juga disebut kembali dari apa yang
dibenci Allah secara lahir dan batin kepada apa yang dicintai Allah secara
lahir dan batin, berarti di dalamnya terkandung istilah Islam, iman dan ihsan.
Inilah yang menjadi tujuan setiap orang Mukmin, permulaan dan
kesudahan hidupnya. Banyak orang yang tidak mengetahui porsi taubat
dan hakikatnya, terlebih lagi pengamalannya berdasarkan ilmu dan
kondisinya. Karena AUah memberikan kecintaan-Nya kepada orang-orang
yang bertaubat, berarti mereka adalah orang-orang yang khusus di sisi-
Nya.
Istighfar ada dua macam: Istighfar yang berdiri sendiri dan istigh-far
yang dikaitkan dengan taubat. Istighfar yang berdiri sendiri seperti
perkatan Nuh Alaihis-Salam atau perkataan ShaUh Alaihis-Salam kepada
kaumnya, atau seperti firman Allah,
a1]I f-,1 aHi
*4 **°
"Dan, mohonlah ampun kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Peng-
ampun lagi Maha Penyayang. " (Al-Baqarah: 199).
Istighfar yang dikaitkan dengan taubat, seperti firman Allah,
"Hendaklah kalian meminta ampun kepada Rabb kalian dan bertaubat
kepada-Nya. (Jika kalian mengerjakan yang dermkian}, niscaya Dia akan
memberi keniktnatan yang bdk (terus-menerus) kepada kalian sampai
kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-
tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) ke-utamaannya. "
(Hud: 3).
Istighfar yang berdiri sendiri seperti taubat, dan bahkan istighfar itu
sendiri adalah taubat, yang berarti menghapus dosa, menghilangkan
pengarahnya dan mengenyahkan kejahatannya, tidak seperti yang dikira
sebagian orang, bahwa artinya adalah menutupi aib. Toh Allah menutupi
alb orang yang diberi-Nya ampunan atau yang tidak diberi-Nya ampunan.
Penutupan aib hanya sekedar kelaziman dari maknanya atau sebagian di
antaranya. Istighfar inilah yang mencegah turunnya adzab, sebagaimana
firman-Nya,
(jj^)a.ir_luLi (sAj ~^,^ '''* ^ '^l (jl-^ l-aj
"Dan, tidaklah Allah akan mengadzab mereka, sedang mereka meminta
ampun. " (Al-Anfal: 33).
Allah tidak akan mengadzab orang yang meminta ampunan.
Sedangkan orang yang masih tetap berbuat dosa, namun dia juga meminta
ampun kepada AUah, maka hal ini tidak bisa disebut istighfar yang mur-ni.
Karena itu, istighfamya tidak mampu mencegah adzab. Istighfar men-cakup
taubat dan taubat mencakup istighfar, masing-masing masuk dalam
pengertian yang lain. Jika keduanya disertakan, maka makna istighfar
adalah menjaga dari kejahatan yang lampau, sedangkan makna taubat
adalah kembali dan mencari penjagaan dari sesuatu yang ditakutinya di
masa mendatang, berupa keburukan-keburukan amalnya. Ada dua macam
dosa, yaitu dosa yang telah lampau dan dosa yang dikhawatirkan akan
terjadi di masa mendatang. Istighfar dari dosa yang telah lampau berarti
mencari perlindungan dari kejahatannya, dan taubat dari dosa yang dikha-
watirkan akan terjadi berarti bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.
Orang yang berdosa diibaratkan orang yang melewati suatu jalan, padahal
jalan ini akan membawanya kepada kehancuran dan tidak meng-
hantarkannya ke tujuan. Maka dia diperintahkan untuk menghentikan
langkah kakinya, meninggalkan jalan itu dan kembali ke jalan yang
membawanya kepada keselamatan dan menghantarkannya ke tujuan.
Dari sinilah bisa diketahui secara jelas masalah taubatan nashuhan dan
hakikatnya, seperti firman Allah,
"//fl/ orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat
yang semumi-muminya, mudah-mudahan Rabb kalian akan menghapus
kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. " (At-Tahrim: 8).
An-Nashuh dalam taubat dan ibadah artinya membersihkannya dari
kebohongan, kekurangan dan kerusakan serta mengerjakannya sesem-
puma mungkin. An-Nashuh kebalikan dari tipuan. Orang-orang salaf saling
berbeda dalam mendefinisikannya. Umar bin Al-Khaththab dan Ubay bin
Ka'b Radhiyallahu Anhuma berkata, 'At-Taubatun-nashuh artinya taubat
dari suatu dosa dan pelakunya tidak mengulanginya lagi, sebagaimana air
susu yang tidak bisa kembali ke kantong kelenjarnya."
Al-Hasan Al-Bashry berkata, "Artinya, seorang hamba menyesali apa
yang dilakukannya di masa lampau dan bertekad untuk tidak mengu-
langinya lagi."
Al-Kalby berkata, "Artinya, seorang hamba harus memohon ampun
dengan lidahnya, menyesal dengan hatinya dan menahan diri dengan
anggota tubuhnya."
Sa'id bin Al-Musayyab berkata, "Artinya, kalian harus jujur terhadap
diri sendiri. "
Muhammad bin Ka'b Al-Qarzhy berkata, "Artinya, seorang hamba
harus menghimpun empat perkara: Istighfar dengan Udah, membebaskan
diri dengan anggota badan, tekad untuk tidak mengulang lagi dengan hati
dan menjauhi teman-teman yang masih melakukannya."
Menurut pendapat saya, at-taubatan-nashuh harus mencakup tiga
perkara:
1. Mencakup segala macam dosa yang pernah dilakukan, sehingga tidak
ada satu dosa pun melainkan sudah tercakup di dalamnya.
2. Membulatkan tekad dan kemantapan hati secara menyeluruh, sehingga
tidak ada lagi keragu-raguan dan penangguhan. Kehendak dan tekadnya
harus dibulatkan seketika itu pula.
3. Membebaskan taubat itu dari kekeruhan dan alasan-alasan tertentu
yang bisa mengotori keikhlasannya, hati didorong untuk takut kepada
AUah semata dan mengharap apa yang ada di sisi-Nya, tidak seperti orang
yang bertaubat karena hendak menjaga kedudukan, pangkat dan harga
dirinya, meUndungi kekuasaan, kekuatan dan hartanya, agar dipuji orang
dan tidak dicela.
Yang pertama berkaitan dengan dosa yang dimintakan taubat. Yang
kedua berkaitan dengan hati orang yang bertaubat dan jiwanya. Yang
ketiga berkaitan dengan diri orang yang bertaubat.
Ada perbedaan antara menghapus kesalahan dan mengampuni dosa.
Di dalam Kitab Allah hal ini disebutkan secara berurutan, dan ada pula yang
disebutkan secara sendiri-sendiri. Yang disebutkan secara berurutan seperti
firman Allah yang mengisahkan hamba-hamba-Nya yang Mukmin,
"Wahai Rabb kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapus-
kanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami
beserta orang-orang yang berbakd. " (AU Imran: 193).
Yang disebutkan secara sendirian seperti firman-Nya,
"Dan, orang-orang yang beriman (kepada Allah) dan mengerjakan amal-
amal yang shalih serta beriman (pula) kepada apa yang diturunkan
kepada Muhammad dan itulah yang hak dan Rabb mereka, Allah meng-
hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan
mereka. " (Muhammad: 2).
Firman Allah tentang maghfirah (ampunan),
"Dan, mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan
dan ampunan dari Rabb mereka. " (Muhammad: 15).
Di sini disebutkan empat perkara: Dosa, kesalahan, ampunan dan
penghapusan.
Dosa maksudnya adalah dosa besar. Kesalahan maksudnya adalah
dosa kecil, yang cukup hanya dengan dihapuskan. Sementara pengha-
pusan ini tidak efektif untuk dosa besar, seperti menghapus dosa mem-
bunuh secara sengaja dan sumpah palsu. Inilah daUl bahwa maksud kesa-
lahan di sini adalah dosa kecil dan penghapusannya.
"Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dila-
rang kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan
kalian dan Kami masukkan kalian ke tempat yang mulia (surga). " ( An-
Nisa': 31).
Disebutkan di dalam Shahih Muslim, dari hadits Abu Hurairah Radhi-
yallahu Anhu, bahwa RasuluUah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Shalat-shalat lima waktu, Jum'at ke Jum'at dan Ramadhan ke Rama-
dhan menghapus kesalahan-kesalahan di antara keduanya selagi dosa-
dosa besar dijauhi. "
Lafazh "maghfirah" (ampunan) lebih sempurna daripada lafazh "tak-
fir" (penghapusan), karena itu maghfirah berlaku untuk dosa-dosa besar
dan penghapusan berlaku untuk dosa-dosa kecil. Maghfirah mencakup
pemeliharaan dan penjagaan, sedangkan takfiir mencakup penutupan aib
dan pengenyahannya. Namun jika disebutkan secara sendirian, maka
masing-masing bisa masuk ke dalam pengertian yang lain. Jadi takftr bisa
mencakup dosa besar dan dosa kecil, bahkan bisa mencakup amal yang
paling buruk sekalipun, seperti firman-Nya,
IjlaC (Ci3l Ijjuol A^JC Aill J^^
"Agar Allah menghapus (mengampuni) bagi mereka perbuatan yang
paling buruk yang mereka kerjakan. "(Az-Zumar: 35).
Orang-orang yang berdosa mempunyai tiga sungai besar yang bisa
dipergunakan untuk membersihkan dosa-dosanya di dunia. Jika belum
juga bersih, maka mereka akan dibersihkan di sungai neraka di hari
kiamat. Tiga sungai itu ialah:
1. Sungai at-taubatun-nashuh.
2. Sungai kebaikan-kebaikan yang melimpah ruah dan
menghanyutkan berbagai macam kesalahan di sekitamya.
3. Sungai musibah dan cobaan yang menghapus semua dosa.
Jika Allah menghendaki suatu kebaikan pada diri hamba-Nya, maka
Dia memasukkannya ke dalam salah satu sungai ini, sehingga dia datang
pada hari kiamat dalam keadaan bersih, sehingga dia tidak memerlukan
cara pensucian yang keempat.
Dosa Besar dan Dosa Kecil
Menurut nash Al-Qur'an dan As-Sunnah, ijma' orang-orang salaf dan
istilah, dosa-dosa itu dibagi menjadi dua macam: Dosa-dosa besar dan
dosa-dosa kecil. Firman Allah,
"J/fca kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang
kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan
kalian." (An-Nisa!: 31),
"Orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang
selain dari kesalahan-kesalahan kecil. " (An-Najm: 32).
Sedangkan apa yang dikisahkan dari Abu Ishaq Al-Isfira'ainy, bahwa
semua dosa adalah dosa besar dan sama sekali tidak ada dosa yang kecil,
maka bukan itu maksudnya. Sebab kalau tidak, dosa memandang sesuatu
yang diharamkan sama dengan dosa berzina. Tapi yang dimaksudkan
adalah pengaitannya dengan keagungan yang didurhakai, dengan
pengertian, sebagian bisa lebih besar dosanya daripada yang lain.
Orang-orang salaf saling berbeda pendapat tentang dosa-dosa besar.
Namun perbedaan pendapat di kalangan mereka ini tidak terlalu tajam, dan
pendapat-pendapat mereka hampir sama.
Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari hadits Asy-Sya'by, dari
Abdullah bin Amr, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beUau bersabda,
"Dosa-dosa besar adalah: Syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua
orang tua, membunuhjiwa dan sumpahpalsu. "
Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari hadits Abu Wa'il, dari Amr bin
Syurahbil, dari Abdullah bin Mas'ud, dia berkata, "Aku bertanya, "Wahai
RasuluUah, apakah dosa yang paling besar itu?"
Beliau menjawab, "Jika engkau membuat tandingan bagi Allah,
padahal Dialah yang menciptakan kami."
"Kemudian apa lagi?" tanyaku.
Beliau menjawab, "Jika engkau membunuh anakmu karena takut dia
makan bersamamu."
ini,
"Kemudian apa lagi?" tanyaku.
Beliau menjawab, "Jika engkau berzina dengan istri tetanggamu."
Kemudian Allah menurunkan ayat yang membenarkan sabda beliau
"Dan, orang-orang yang tidak menyembah sesembahan lain beserta
Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali de-
ngan (alasan) yang benardan tidak berzina. " (Al-Furqan: 68).
Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari hadits Abu Hurairah, dari
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,
aSl^\ JU J^lj hj\\ J^lj t3^W *^j ^' (*J^ t5-^' j_>jiill JlSj ja-ui]lj
CliLLaj^l CJ^^liliJl CllLL^aa^l LJ^j LJ^^^I ajJ ^j!lllj
"Jauhilah oleh kalian tujuh kedurhakaan". Mereka bertanya, 'Apakah
itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Syirik kepada Allah, sihir,
membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang
benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri saat
pertempuran, menuduh wanita-wanita suci yang lalai dan beriman. "